Belajar dari Perkara Kecil

Minggu Biasa XXXIII 
Mat 25:14-30; 1Tes 5:1-6

Menjelang akhir Tahun Liturgi, Gereja selalu mengingatkan kita akan hari kedatangan Tuhan. Melalui St Paulus kita diingatkan, “...kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang seperti pencuri di waktu malam” (1Tes 5:2). Tetapi, meski kita mengetahuinya dan selalu diingatkan, kadang kesibukan hidup kita tak memberikan peluang untuk memikirkannya. Bahkan mungkin tak lagi terngiang kata-kata Tuhan ini, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua yang lain akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33).

Pada hari ini, Yesus mengajar melalui perumpamaan. Tiga orang hamba diberi "modal" sebesar lima talenta, dua talenta dan satu talenta. Setiap orang diberi talenta agar bersiap diri menyambut Allah yang datang meraja. Maka dapat dimengerti, bila dua hamba yang baik dan setia segera ‘pergi’ untuk mengembangkan talentanya. Kala Tuhan datang, mereka telah melipatgandakan talentanya; bukan untuk kepentingan pribadi, tapi demi kepentingan bersama, kemuliaan Pemberi talenta.

Mari kita pahami pengertian talenta, bukan hanya sebatas bakat atau potensi, melainkan mewakili semua hal yang Tuhan percayakan kepada kita. Pertama-tama adalah kepercayaan: pekerjaan (student, guru, karyawan..dst), pelayanan, komunitas, propinsi, keuskupan dan sebagainya. Kita dapat mencermatinya dan bertanya: bagaimana kita mengerjakan semua itu? Bagaimana saya memprioritaskan talenta itu?

Rm. Leo Agung SCJ, foto pada musim panas 2013 di Tarquinia
Menarik sekali, setelah majikan itu meminta perhitungan dari ketiga hambanya, hamba yang dipercayakan mengelola lima talenta membawa laba lima talenta, pun dengan hamba yang dipercayakan mengelola dua talenta membawa laba dua talenta. Maka tuan itu memberi penilaian dan pujian, "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba yang baik dan setia! Karena engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara kecil, maka aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu" (Mat 25:21.23).

Jelas bahwa: tanggung jawab atas talenta tidak akan pernah berhenti. Pun tidak ada juga kesempatan untuk membangga-banggakan diri dengan apa yang sudah kita lakukan. Dengan kata lain, tidak ada kata berhenti untuk berbuat baik.
Jelas pula bahwa: hanya mereka yang bertanggung jawab atas talenta itu, dialah yang memiliki hak untuk masuk dalam kebahagiaan Sang Pemberi talenta.

Paling tidak ada dua sikap dasar yang harus kita miliki sebagai orang-orang yang telah diberi kepercayaan oleh Tuhan.
Sikap PERCAYA --- kita harus percaya sepenuhnya kepada Tuhan yang telah mempercayakan ”talenta” itu kepada kita. Seperti yang dibuat oleh hamba yang pertama dan kedua yang menunjukkan tanggung jawab atas talenta. Hamba yang menyembunyikan talentanya adalah seorang hamba yang menuduh tuannya sebagai seorang yang kejam.
Sikap SETIA --- kita harus setia mengerjakan apa yang menjadi bagian kita. Sang tuan dalam perumpamaan itu tidak mempersoalkan berapa banyak keuntungan yang diperoleh, melainkan melihat kesungguhan hamba-hambanya mengelola apa yang telah dipercayakannya kepada mereka. Kesungguhan dalam setiap hal yang dilakukan oleh seseorang, menjadi wujud konkrit dari kesetiaannya.

Lewat perkara kecil orang dapat mengukur kemampuan, kesetiaan dan tanggung jawabnya atas perkara besar yang mungkin akan dipercayakan orang kepadanya.

Pesta Pemuliaan Salib Suci

Simbol dari kasih bukanlah hati melainkan salib. Sebab hati suatu saat akan berhenti detaknya, tetapi Manusia yang tersalib itu tidak akan berhenti mengasihi. 
Bil 21,4-9; Fil 2,6-11; Yoh 3,13-17 
Hari ini kita merayakan pesta Pemuliaan Salib Suci. Mengapa menggunakan kata PEMULIAAN? Jelas bahwa dengan kata pemuliaan, salib tidak ingin dihadirkan kepada seluruh umat beriman dengan aspek penderitaan, keras dan beratnya hidup, atau sulitnya mengikuti Kristus. Tetapi, salib hadir sebagai sumber yang membanggakan dan yang membesarkan hati.
Secara historis, pesta ini juga mau mengingatkan kita tentang dua peristiwa besar dalam sejarah iman Kristiani. Pertama, adalah peresmian dua basilika pada tahun 325 oleh Kaisar Konstinus (di Golgota dan di Makam Yesus).  Kedua, kemenangan Kristen atas Persia (abad VII) yang diartikan kembalinya salib dari tangan Persia ke Yerusalem.
Seni Romawi Kuno
Lebih dari itu, pesta ini merupakan ungkapan iman Gereja terhadap Salib Yesus sebagai jalan keselamatan. Palulus menyajikan sebuah himne terkenal, di mana salib dipandang sebagai alasan atas "peninggian" Kristus. “...Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai wafat, bahkan sampai wafat di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia, dan menganugerahkan-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuklututlah segala yang ada di langit, dan yang ada di atas serta di bawah bumi, dan bagi kemuliaan Allah Bapa segala lidah mengakui, “Yesus Kristus adalah Tuhan.”
Ketika saya mencermati lukisan atau mozaik salib di beberapa Gereja atau Basilika atau biara-biara mosnatik, saya menemukan dua kharakter seni yang mencolok. Pertama, seni Romawi Kuno (abad IV) yang menampilkan salib dengan wajah Yesus mengarah ke depan, mata terbuka, tanpa bayangan penderitaan, tidak lagi dinobatkan duri, tetapi dengan permata. Dalam bentuk mozaik, sering ada dekorasi yang bercahaya dan ada ditambahkan tulisan “Salvezza del mondo” atau “Salus Mundi” artinya keselamatan dunia.
Seni Gotik / Modern
Kedua, Seni Gotik (modern, mulai abad XII) yang menampilkan salib dengan tampak ekstrim, tangan dan kaki menggeliat, sekarat di bawah seikat duri, seluruh tubuh ditutupi dengan luka. Tampak dramatis, realistis, menyedihkan - mewakili lintas mata - dingin. Salib diungkapkan sebagai simbol penderitaan dan kejahatan di dunia dan realitas mengerikan dari kematian.
Dua kharakter seni ini tampaknya mewakili dua sudut pandang. Di satu sisi Salib dipandang sebagaipenyebab", itulah yang biasanya salib menghasilkan: kebencian, kedengkian, ketidakadilan, dosa. Di sisi lain Salib dipandang sebagai “bukan penyebab” tetapi efek dari salib, atau apa yang dihasilkan dari salib: rekonsiliasi, perdamaian, kemuliaan, keamanan, kehidupan kekal. 

Memuliakan atau meninggikan salib berarti meninggikan cinta, Yesus Yang Tersalib telah meninggikan cinta. Jalan yang ditempuh: Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai wafat, bahkan sampai wafat di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia. Bagi kita, meninggikan salib berarti membuka hati kita untuk menyembah dan mengagumi. Dengan demikian, akan menghasilkan bagi kita dan orang di sekitar kita suatu rekonsiliasi, perdamaian, kemuliaan, keamanan, kehidupan kekal.

Ada Mujizat dalam Iman yang Hidup

Santuario: Madonna del Divino Amore
Tampak ada banyak tanda terima kasih tertempel di
dinding. Mereka telah mengalami mujizat, melalui
iman yang hidup dalam kesetiaan doa mereka.
MINGGU BIASA XX (A), 2014
Matius 15:21-28

Sabda Tuhan hari ini, khususnya Injil mengajak kita untuk merenungkan pertemuan antara Yesus dan perempuan Kanaan yang tinggal di tempat yang dianggap haram. Wanita itu mengambil inisiatif dan memohon Yesus untuk menyelamatkan putrinya yang kerasukan setan, atau dengan masalah psikologis yang serius. Dia berseru, "Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita." (Mat 15:22).   

Kita bisa membayangkan situasi putri dari perempuan Kanaan itu. Katakanlah sebagai seorang gadis yang murung, yang tidak bahagia dengan hidupnya, dan bahkan mungkin kadang-kadang menangis atau berteriak kesal. Saya pikir, kondisi seperti ini secara kebetulan pernah kita jumpai pada salah satu keluarga. 
Tapi bagaimana reaksi Yesus? Dikisahkan bila Yesus tampak acuh tak acuh (Mat15,23) dalam menghadapi permintaan wanita itu. Sehingga mendorong hati para murid untuk memohon agar Dia mendengarkan dan memenuhinya. Tapi Yesus berkata, "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing"(Mat 15:26).
 
Betapa hati kita amat terkejut mendengar kata-kata Yesus. Rasanya sulit bagi kita untuk memahami sikapNya. Berhadapan dengan situasi seperti itu, siapa pun akan mengharapkan dariNya, kata-kata penghiburan, bantuan, pertolongan terhadap orang yang lemah yang menderita. Mungkin saat ini juga di antara kita ada yang merasa kecewa, persis seperti yang dialami wanita itu. Kita telah meminta dan memohon Tuhan untuk membantu, tapi seolah-olah Dia tidak mendengarkan

Iman yang besar, iman yang hidup dari wanita Kanaan itu melahirkan sebuah mukjizat atau keajaiban. Yesus berkata kepadanya: "Hai Ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." 
Dan seketika itu juga anaknya sembuh (Mat 15:28). 

Dengan demikian, Sabda Tuhan telah dan sedang mengajarkan kita, pertama-tama bahwa Tuhan mengundang kita untuk percaya kepada-Nya dalam iman, untuk tidak pernah menyerah dalam doa. Bahkan jika tampaknya bahwa permohonan kita tidak didengarkan dan dijawab. Kita tidak harus berkecil hati. Mari kita meniru desakan dari perempuan Kanaan. Kerendahan hati dan pengakuan diri atas situasi yang sesuangguhnya terjadi dalam keluarganya, menjadi tanda yang jelas sebagai iman yang hdup dan dihidupi oleh wanita Kanaan itu.  

Oleh karena itu, janganlah kita kehilangan harapan dengan iman yang hidup.

Yesus amat dekat dengan kita


Matius 13:10-17
Siapakah orang yang terdekat di dalam hidupmu? Sebuah pertanyaan yang sederhana. Tentu masing-masing orang memiliki jawabannya. Ada yang menjawab: ibu, karena merasakan betapa sabar, lembut dan ramah. Ada yang yang menjawab: ayah, karena merasakan betapa hangat sapaannya. Ada yang mengatakan: adik, karena merasakan betapa imut dan menggemaskan. Ada yang mengatakan: istri, karena merasakan betapa perhatiannya, dan seterusnya. 

Ilustrasi: salah satu aktivitas para siswa Sekolah Dasar selama musim panas, 
di Messina, Sicilia, ROMA
Yesus pun dekat dengan para murid-Nya. Bahkan terkesan Ia sangat mengistimewakan mereka. Kedekatannya tampak ketika Yesus mengajarkan banyak hal secara terus terang kepada mereka. Lalu apakah para murid juga sangat dekat dengan Yesus? Tampaknya para murid pun dekat dengan Yesus, bahkan amat dekat. Mereka mengenal-Nya dan mengerti misi dan visi-Nya, yaitu mewartakan Kerajaan Allah. Dengan demikian, Yesus memberikan kepercayaan mengutus para murid-Nya mewartakan Kerajaan Allah.  

Pertanyaan untuk kita: Apakah kita dekat dengan Yesus? Jika YA, masing-masing dari kita tentu akan memiliki jawaban yang sangat personal. Pun tergantung pada intensitas perjumpaan dengannya. Baik melalui dan dalam Ekaristi, dalam doa-doa, dalam meditasi dan seterusnya. Jika TIDAK, kita mungkin seperti orang yang bebal hati, persis yang diramalkan nabi Yesaya, Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti; kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap" (Mat 13:14).

Saya harus Memilih


Matius 13, 24-43 
Rasanya, perumpamaan tentang gandum sebagai benih yang baik dan ilalang sebagai benih yang jahat,  sering dipakai untuk mengkontraskan antara orang-orang benar dan orang-orang jahat. Dengan demikian tentu dengan mudah kita akan menempatkan diri dalam kategori gandum dan bukannya ilalang.  Semoga tidak demikian.

Melalui perumpamaan tentang gandum dan ilalang,  Yesus justru mau mengajar agar kita senantiasa rendah-hati dan tidak mudah menghakimi orang lain sebagai kelompok ilalang.  Karena bisa saja terjadi sebaliknya. Kita yang menggolongkan diri sendiri sebagai gandum ternyata justru kita sebagai ilalang
Ilalang dan gandum adalah dua tanaman yang hampir mirip, tetapi sebenarnya sangat berbeda. Gandum adalah suatu jenis tanaman yang dapat menjadi makanan pokok, yang banyak berguna bagi manusia, sedangkan ilalang adalah suatu jenis tanaman yang amat sedikit kegunaannya. Bahkan ilalang memiliki sifat menghisap persediaan makanan dan merusak suatu tanaman yang ada di dekatnya.

Yesus mengidentifikasi bahwa pada awal pertumbuhannya, ilalang sering tidak tampak perbedaannya dengan tanaman gandum (ay.25). Dan petani mulai mengetahui dengan persis manakah yang termasuk kelompok tanaman gandum dan manakah yang termasuk kelompok ilalang, yakni saat gandum mulai berbulir. 

Dengan demikian, pada akhirnya masing-masing dari kita yang ada di antara batas tipis keduanya, harus memilih hidup sebagai gamdum atau ilalang. Bila kita ingin menjadi gandum maka kita harus melatih dan terus mengembangkan diri untuk tidak menjadi kelompok tananam ilalang yang merusak, menghambat, meracuni dan mematikan orang-orang yang berada di sekitar kita. Menjadi gandum berarti berusaha mewujudkan realitas Kerajaan Allah dengan terus menghasilkan buah yang bermanfaat pada kehidupan ini.

Tentukan pilihan segera mungkin!

Anda dan saya adalah Gembala sekaligus Domba

Yohanes 10:1-10
Yesus sebagai Gembala, merupakan gambaran yang sangat indah, yang melukiskan kebaikan Tuhan yang menjaga dan yang melindungi kita.
Dalam Perjanjian Lama, Pemazmur menggambarkan Tuhan sebagai Gembala dan umat-Nya adalah kawanan dombanya (cfr. Mzm 23). Para raja dan imam juga dilukiskan sebagai gembala, di mana Allah menugaskan mereka untuk menjaga dan memimpin umat-Nya. 
Yehezkiel menubuatkan kedatangan gembala yang baik, yang akan melindungi kawanan dombanya (Yeh 34). Tetapi melalui Yeremia, Allah juga memperingatkan umat akan adanya gembala- gembala yang tidak baik (cfr. Yer 2:8), yang mengakibatkan domba tercerai berai. Maka Yeremia atas nama Allah menjanjikan datangnya gembala- gembala yang baik dari keturunan Daud (cfr. Yer 23:1-6; 3:15; 10:21; Is 40:1-11). Yesus adalah penggenapan nubuat ini (cfr. Luk 15:4-7).
Hari ini melalui Injil Yohanes, Sabda Tuhan mengingatkan kita akan peran Yesus sebagai Gembala yang baik itu, sebagai penggenapan atas nubuat para nabi. Salah satu sifat Gembala yang disebutkan oleh penginjil Yohanes bahwa Gembala yang baik mengenal domba- dombanya dan mereka mengenal suara sang gembala mengikuti dia (cfr. Yoh 10: 3-5). Sebuah penggambaran yang saat itu adalah umum. Pada saat menjelang malam, kawanan domba dikumpulkan menjadi satu dan mereka akan dijaga semalaman oleh penjaga malam. Lalu pada waktu dini hari, para gembala akan kembali dan membukakan pintu bagi kawanan.  Gembala akan memanggil tiap- tiap dombanya, yang akan mengenali suara gembalanya dan mengikutinya. Domba- domba itu mengenali suara gembalanya karena sang gembala biasanya memanggil nama mereka. Lalu gembala akan memimpin mereka ke padang rumput.
Kita selalu dipanggil untuk semakin mengenali suara Tuhan Sang Gembala Agung kita, yang secara terus menerus memanggil melalui sabdaNya. Selain semakin mengenali, juga taat kepada suara para gembala, yang melalui para imam, uskup dan Paus, Tuhan Yesus memberikan kuasa untuk mengajar kita. Kita juga diundang untuk menghargai sakramen- sakramen, dan dengan hati terbuka mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan layak. Para kudus juga telah memberikan teladan hidup mereka. 

Pada hari Minggu Paskah IV tahun 2014 ini, kita khususkan sebagai Minggu panggilan. Anda dan saya diingatkan bagaimana menjadi gembala atau domba yang saling peka mengenal suara. Sebab jika kita hanya mengenalnya sambil lalu, bisa jadi kita akan mengenal suara yang mirip saja, dan ternyata itu pencuri atau perampok.
“Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10). Dengan demikian, ketika kita peka akan suara gembala kita, kita sama-sama akan menyambut Dia yang memberikan hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. 

Saudari dan Saudaraku,
Yesus mengenal kita satu persatu, Anda dan saya. Ia tahu siapa kita, kekurangan dan kelebihan kita. Ia mengenal kita jauh melebihi pengenalan kita akan diri sendiri. Ia mengenal kita karena kita berharga dimataNya. Ia mengenal kita karena Ia sungguh-sungguh mengasihi kita.
Oleh karena Allah telah lebih dahulu mengenali kita, maka kita tidak perlu ragu dalam setiap doa kita. Ia mengenal kita dan mengetahui dengan pasti apa yang menjadi kebutuhan kita. Pun dalam setiap pekerjaan, Allah memberikan kemampuan bagi kita untuk mengembangkannya. 
Allah juga mengenal kehidupan panggilan kita, sebagai biarawati, biarawan, atau ibu dan bapak yang berumah tangga, dengan segala suka dan dukanya. Mari kita kenali suaraNya, karena Ia lebih dahulu mengenali kita. Mari juga mengenali suara saudari dan saudara kita, agar kita juga sama-sama mengalami hidup yang berkelimpahan dari Gembala Agung kita.

Kekuatan dari Pengampunan

Ulangan 26:16-19; Matius 5:43-48 
Hari ini, penginjil Matius mengingatkan saya akan kekuatan pengampunan dan belas kasih Alah. Allah itu begitu baik dan adil bagi orang benar maupun yang tidak benar, orang berdosa maupun orang yang saleh. Allah juga melihat setiap kebaikan kita dan mengajarkan kita untuk memberikan kebaikan itu kepada orang lain – bahkan kepada mereka yang membenci kita, bahkan bagi mereka yang tidak tahu berterima kasih dan egois. Bila itu dapat kita lakukan, pada saat itu juga kita menampakkan kebaikan dan rahmat, seperti yang Allah tunjukkan kepada kita. 

Rasanya lebih mudah untuk menunjukkan kesalahan dan keburukan orang lain. Agak susah menunjukkan kebaikan dan kemurahan hati. Ampuni saya Tuhan yang mudah menunjuk kekurangan sesama, sering menyakiti, memusuhi dan kurang tahu berterimakasih. Ajariku untuk selalu berdoa bagi mereka yang menyakiti saya. Ajariku untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan sesama, dan tidak melkukan balas dendam. Beri hatiku kekuatan kasih itu menjadi daya untuk dapat berbuat baik dalam menghadapi kejahatan. Terlebih kekuatan kasih untuk dapat mengasihi orang-orang yang memusuhihiku.

Bagi Allah, dengan Allah, segala sesuatu mungkin. Dia memberikan kekuatan dan rahmat yang dibutuhkan orang-orang yang percaya dan menerima karunia Roh Kudus. Kasih Allah mengalahkan segalanya, bahkan rasa sakit hati, ketakutan, prasangka dan duka kita. Salib Yesus Kristus telah lebih dahulu mengalahkan kematian. Dengan salib Yesus pula dapat membebaskan kita dari ikatan kedengkian, dendam, dan kebencian dan memberi kita keberanian untuk membalas kejahatan dengan kebaikan.

Di akhir pekan ini, saya juga diajak oleh penulis Kitab Ulangan melalui Musa yang berbicara kepada Bangsa Israel untuk mengingat kembali tentang Perjanjian Allah dan Manusia. Dan saya percaya bahwa semua kebaikan Allah yang saya alami mendorong hati saya menyambut uluran tangan Allah yang menghendaki hidup bersamaNya. Saya diingatkan bahwa janji Allah yang tidak pernah terbatalkan menjadi alasan saya untuk percaya bahwa Allah akan memegang janji Nya.

Tak lupa saya juga berterimakasih dan bersyukur atas pengalaman selama settimana convivenza. Ada begitu banyak pengalaman berharga yang kudapatkan: senso di fraternità nel gruppo asiatico, anche in solidarietà con altri gruppi; lo spirito di condividere della diversità, etc.

Tuhan ajariku untuk menjadi pribadi yang sederhana, sabar, mengampuni, mengasihi; seperti Engkau sendiri yang selalu mengasihiku.

Yesus Berubah Rupa

Kej 22:1-2.9a.10-13.15-18
Rm 8:31-34 
Mrk 9:2-10

Minggu yang lalu, Sabda Tuhan mengundang kita untuk memberikan perhatian pada kuasa sakramen pembaptisan yang telah kita terima. Kuasa pembaptisan itu membuat kita mampu menolak kuasa jahat/iblis yang selalu menggoda kita. Hari ini, Sabda Tuhan mengundang kita untuk memberikan perhatian tentang kurban. Kita akan belajar dari tiga tokoh Abraham, iman Paulus dan Yesus Sang Anak Tuggal Allah.

Kita tahu bagaimana teladan kerendahan hati dan ketaatan Abraham. Ia mendengarkan dan mentaati permintaan Allah untuk mengurbankan anaknya yang tunggal (Ishak), yang telah lama dinanti-nantikan. Ia pun membawa Ishak untuk dipersembahkan. Melihat iman Abraham, maka Allah melepaskan Ishak dan menggantinya dengan seekor domba jantan sebagai kurban. Iman Abraham inilah yang membuat dirinya menerima berkat melimpah dari Tuhan. Ia menjadi Bapa segala bangsa.

Iman Paulus memberikan kesaksian bahwa Allah tidak menyayangkan AnakNya sendiri. Bahkan Ia menyerahkan AnakNya yang tunggal Yesus untuk keselamatan semua orang dengan sengsara dan wafatNya di kayu Salib. Sikap Allah ini yang mendorong kita untuk senantiasa bertumbuh dalam iman, memiliki harapan yang kokoh, dan keberanian untuk memberi kesaksian tentang cinta kasih Allah kepada semua orang.

Melepas lelah di taman Villa Adriana
Seperti halnya penampakan Yesus kepada tiga murid: Petrus, Yohanes dan Yakobus. Dikisahkan bahwa Yesus membawa ketiga murid terpilih itu ke atas sebuah gunung yang tinggi. Kita tahu bahwa gunung menjadi simbol tempat Tuhan bersemayam. Di sana Yesus berubah rupa, wajahNya berkilau-kilauan dan pakaianNya sangat putih. Di sana juga tampak Musa sebagai penerima Taurat dan Elia seorang Nabi Besar yang naik ke langit dengan kereta berapi dan akan datang kembali. Tampak kepada para murid bahwa mereka sedang bercakap-cakap satu sama lain. Keterpesonaan dan sukacita Petrus mendorong dirinya untuk mendirikan kemah-kemah untuk Yesus, Musa dan Elia. Namun terdengarlah dari langit  suara: “Inilah AnakKu yang kekasih, Dengarkanlah Dia!” Suara ini mempertegas identitas Yesus sebagai Anak Tunggal Bapa. Dialah yang akan menderita untuk keselamatan semua orang.

Masa prapaskah, pertama-tama menjadi saat di mana setiap pribadi diajak untuk bertekun mendengarkan Yesus, Sang Sabda karena Dialah Putera Tunggal Allah. Dialah tanda kasih Allah di tengah-tengah kita. Sabda Tuhan mestinya menjadi santapan setiap hari bagi kita. Sabda Tuhan yang didengar itu jugalah yang dapat dibagi-bagi di dalam hidup kita. 

Yang kedua, setiap pribadi dari kita diajak untuk berani berkurban demi kebaikan dan kebahagiaan sesama. Karena Tuhan Allah sendiri berbagi dengan manusia. Ia sendiri mengurbankan AnakNya yang tunggal. Dan sampai saat ini, setiap kali kita merayakan Ekaristi, mestinya kita menyadari sebagai saat Tuhan berbagi hidup dengan kita. Dalam rupa Hosti Suci, Tubuh dan Darah Tuhan, Ia membiarkan diriNya diambil, dipecah-pecah dan dibagikan untuk kepuasan bagi semua orang.

Penampakan Yesus dalam kemuliaanNya dengan berubah rupa, mendorong kita juga untuk mampu berubah. Perubahan hidup yang radikal bagi Allah, yakni dalam semangat tobat atau metanoia dalam diri kita. Yesus berseru, "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil" (Mrk 1:15).