Melihat dan mengenali kota Roma dari puncak bukit |
***
Suatu ketika, seorang seminaris datang mengetuk kamar saya.
Rasanya untuk pertama kalinya ini, ia menemui saya. Setelah masuk, ia
menuturkan kisahnya selama mengikuti latihan sepakbola sore hari itu, Rabu.
Sebuah benturan keras telah terjadi atas dirinya rekannya di lapangan. Ia
terjatuh, terguling dan penuh dengan lumpur ditubuhnya (maklum lapangan bola
saat itu masih amat memprihatinkan). Ia berhenti sejenak berkisah, ia membuka
kacamata hitamnya. Sayapun melepaskan senyum yang sejak ia masuk, saya
tahan-tahan. Dalam hati saya hanya bertanya-tanya mengapa ia harus mengenakan
kacamata hitam seperti seorang pemain kuda lumping.
Setelah ia bisa menguasai emosinya, isak tangisnya, lalu ia
menyampaikan kecemasan dan ketakutannya atas kejadian itu. Ia cemas dan takut
akan kedua matanya yang tidak lagi berfungsi baik karena benturan keras dengan
kepala rekannya. Pun dengan telinganya yang dirasa seperti tersumbat sesuatu
sehingga tidak amat jelas untuk mendengar.
Saya turut merasakan kecemasan itu, meski tidak saya
katakan padanya. Apalah jadinya bila seseorang akhirnya tidak bisa melihat dan
tidak bisa mendengar. Mungkin ia akan terasa terlempar jauh dari dunia,
gelap dan sepi.
Ada dua unsur mendasar dalam kisah ini: CAHAYA dan SUARA. Demikianlah dua unsur yang dipakai penulis Injil Markus untuk mahami dan mengerti pewartaan Yesus.
Ada dua unsur mendasar dalam kisah ini: CAHAYA dan SUARA. Demikianlah dua unsur yang dipakai penulis Injil Markus untuk mahami dan mengerti pewartaan Yesus.
Cahaya, Yesus mengajak dan memimpin
murid-murid : Petrus, Yakobus dan Yohanes mendaki ke puncak gunung. Di sana “Ia
berubah rupa di hadapan mereka” (Mrk 9:2). Wajah serta pakaian-Nya bersinar
putih sementara Musa dan Elia menampakkan diri bersama-Nya.
Suara, Pada saat itu, awan menaungi
puncak gunung dan terdengarlah suara yang berkata: “Inilah Putera-Ku terkasih,
dengarkanlah Dia” (Mrk 9:7).
Di sini, cahaya dan suara dipakai untuk memberikan
kesaksian tentang Dia dan memberi perintah untuk mendengarkan Dia. Karena
alasan inilah Yesus membawa tiga orang diantara mereka untuk naik ke gunung
bersama Dia. Sebuah tempat yang menyimbolkan dekat dengan yang ilahi. Ia
menyingkapkan kemuliaan Ilahi-Nya, cahaya Kebenaran dan Cinta. Yesus
menghendaki agar terang ini menerangi hati mereka saat mereka melewati
kegelapan Sengsara dan wafat-Nya, saat dimana kebodohan Salib menjadi tak
tertanggungkan bagi mereka. Allah adalah terang, dan Yesus ingin membagikan
kepada para sahabat-Nya pengalaman akan Terang yang berdiam di antara mereka
ini.
Setelah peristiwa Transfigurasi ini Dia sendirilah yang
akan menjadi terang batin mereka dan dapat melindungi mereka dari segala
serangan kegelapan. Yesus adalah pelita yang tak pernah padam. Dan
Sabda-sabdaNyalah yang diperdengarkan kepada siapapun dan mereka memperoleh
kesempatan untuk menimban keijaksaan daripadaNya.
Ziarah Assisi (2013) |
Yakinlah bahwa kita dimampukan seperti Abraham yang memiliki ketajaman iman untuk melihat cahaya ilahi yang membuat ia berani mengurbankan apa yang paling berharga dalam hidupnya. Yakinlah bahwa kita dimampukan seperti Paulus yang mamiliki ketajaman untuk mendengarkan suara Allah dalam discermen hidup kita setiap hari dengan memilih yang baik untuk bisa kita buat dalam setiap pengalaman hidup kita.
No comments:
Post a Comment