Demikianlah
hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang
kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari
pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat
dipercayai (1 Kor 4:1-2).
Pelayanan dan kredibilitas itu memiliki
ikatan yang seharusnya tak terpisahkan. Seorang pemimpin yang baik
mesyaratkan harus memiliki jiwa yang melayani dan dapat dipercaya. Orang
yang dapat dipercaya berarti Orang yang kata-kata dan janjinya dapat
dipegang (tidak mencla-mencle=Jawa). Seorang pemimpin yang dapat
dipercaya, ia akan menjadi pemimpin yang dapat melayani dengan setia.
Oleh sebab itu, seorang ”oportunis” kiranya akan mengalami kesulitan
besar dan bisa jadi tidak mungkin akan menjadi pemimpin yang baik.
Betapa pun cerdik, lincah dan lihainya ia bermanuver serta membaca arah
angin! Sebab ia pasti bukan seorang pelayan yang setia.
Ujung-ujungnya
yang dituntut adalah setia. Terdengar begitu sederhana. Namun dalam
kenyataan, alangkah sulitnya mencari orang-orang khususnya,
pemimpin-pemimpin yang setia itu. Kiranya masih amat up to date belajar
dari pengalaman Kumbakarna, raksasa buruk rupa, dari Kerajaan Alengka.
Sebagian besar orang memang tidak membenarkan dia, ketika ia berpihak
pada kakaknya (Rahwana). Namun begitu, toh orang menghormati karakter
yang melekat dalam dirinya. Ia seorang yang setia.
Fenomena
yang ada akhir-akhir ini, kesetiaan sebagai salah satu unsur
kepemimpinan yang paling vital dan fundamental ini justru paling jarang
disebut-sebut orang. Lebih berbahayanya bahwa kesetiaan sudah dianggap
tidak terlalu penting. Kalah penting dibandingkan dengan unsur-unsur
lainnya. Itulah situasi zaman yang serba pragmatis yang berlaku prinsip
bahwa satu-satunya yang abadi hanyalah kepentingan.
Roh Pelayanan
Ada
persoalan besar bila seorang pemimpin yang tanpa didasari jiwa
kepelayanan dan roh kesetiaan. Ia memang seorang pemimpin. Bahkan
seorang pemimpin besar, barangkali. Tetapi tak dapat dipungkiri sebagai
pemimpin yang sangat mengerikan dan amat berbahaya.
Pernahkan
Anda mendengar atau membaca kisah seorang yang mati disiksa di tahanan?
Pasti amat mengerikan. Di Toulouse Perancis, kurang lebih pada tahun
1761, seorang bernama Jean Calas mati disiksa dalam tahanan. Tentu orang
akan segera bertanya: Apa kesalahannya? Ia hidup di suatu masa, di
sebuah tempat, di mana seorang yang berbeda agama harus serta-merta
dicurigai. Ia hidup di sebuah negeri yang pernah terjadi suatu
pembantaian orang-orang Protestan pada suatu malam. Peristiwa itu
terkenal dengan nama ‘Malam Santo Bartolomeus’.
Lalu
bagaimana kisah kematian Calas? Calas adalah seorang Protestan di
kalangan masyarakat luas yang Katolik. Pada suatu hari seorang anak
bunuh diri, mungkin karena gagal dalam usaha. Calas sedih dan cemas.
Hukum setempat mengharuskan agar setiap yang bunuh diri harus diarak
telanjang, dengan wajah telungkup, diseret di sepanjang jalan dan
kemudian digantung. Calas pun ingin menyelamatkan jenazah anak itu. Ia
mencari akal untuk menutup-nutupi sebab sebenarnya kematian anak muda
itu. Isu yang beredar bahwa Calas lah yang membunuh anak itu, dengan
alasan: si anak bermaksud masuk agama Katolik. Tak urung Calas pun
ditangkap. Ia disiksa dan akhirnya mati.
Sementara
di tahun 1765 ada seorang pemuda bernama La Barre dituduh merusak
salib. Akibat dari ulahnya itu, ia dengan serta-merta disiksa. Akhirnya,
karena tak tahan ia pun mengaku. Hukuman pun dijatuhkan. Kepala anak
muda yang masih berusia 16 tahun itu dipenggal dan tubuhnya dilemparkan
ke dalam api. Orang-orang yang melihat kejadian itu, ramai bertepuk
tangan puas.
Sejak
itu, Voltaire seorang penulis dan filsuf Perancis yang hidup semasa
dengan peristiwa-peristiwa ini tampak murung tanpa sedikit senyuman.
Risalah tentang toleransi pun dituliskannya. Disebarkannya pula
beratus-ratus pamflet yang menentang institusi agama. ‘Kami yang
mahatahu dan mahabenar’. Di balik demonstrasi itu tampak tak disadari
bahwa mereka telah menggantikan Tuhan Yang Mahatahu dan Mahabenar
menjadi ungkapan kesombongannya sendiri
Tentu
orang akan mengatakan bahwa dialah seorang SAULUS, bukan seorang
PAULUS. Sebagian orang mengenal dan mengakui, bahwa pemuda Saulus adalah
seorang kader pemimpin yang amat menjanjikan. Ia memiliki daya
intelektual serta tingkat kecerdasan yang lebih dari rata-rata. Apalagi,
dipadu dengan latar-belakang pendidikannya di sebuah sekolah favorit
(murid Gamaliel). Saulus juga seorang dengan komitmen religius yang
betul-betul luar biasa.
Namun
demikian Saulus juga seorang yang begitu yakin akan kebenarannya
sendiri, sehingga ia jadi benci luar biasa kepada segala sesuatu yang
berbeda. Berbeda, bagi Saulus, berarti sesat; murtad. Dan orang-orang
semacam itu mesti dilenyapkan dari muka bumi. Tetapi Saulus berusaha
membinasakan jemaat itu, dan ia memasuki rumah demi rumah, dan menyeret
laki-laki dan perempuan ke luar, dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan
ke dalam penjara (Kis 8:3).
Setia sebagai Buah Pertobatan
Situasi
menjadi berbalik setelah Yesus menjumpainya secara pribadi. Yesus
membuat Saulus yang gagah perkasa itu lumpuh, buta, dan lemah tak
berdaya. Inilah ”proses” tatkala Tuhan menghancurkan ”ego” yang
berlebih-lebihan. Namun demikian, tak sedikit pun Tuhan mengurangi
potensi, kapabilitas serta talenta Saulus yang luar biasa itu. Tuhan
justru menambahkan sesuatu kepadanya. Sesuatu yang selama ini tidak
dimiliki Saulus. Yesus menganugerahkan roh pelayanan.
Apa
yang terjadi? Betapa drastis bedanya, yakni ketika roh pelayanan
ditambahkan. Kebaruannya itulah ditandakan dengan nama Paulus. Saulus
(lama) diburu oleh nafsu menghancurkan, membunuh dan menghabisi, maka
Paulus (baru) adalah orang yang disemangati oleh kerinduan untuk
membangun, menyelamatkan dan mengampuni. Kesaksian Paulus mengenai
dirinya sendiri setelah dibentuk oleh Tuhan bahwa, Sungguhpun aku bebas
terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang,
supaya aku boleh memenangkan (menyelamatkan) sebanyak mungkin orang (1
Kor 9:19).
Hamba
yang dimaksudkan Paulus bukan karena dipaksa atau terpaksa dan bukan
sekadar untuk cari muka. Ia seorang pemimpin yang dengan sukarela dan
sukacita menjadikan dirinya hamba yang bersedia menghamba. Oleh karena
itu, pelayanannya tulus, tidak berpura-pura. Itulah kepemimpinannya
otentik, bukan sandiwara. Itulah pelayanan yang dihidupi Paulus,
sehingga ia menjadi seorang pemimpin yang kredibel.
Akhirnya,
semoga Anda dapat menjadi seorang yang memiliki jiwa melayani dan dapat
dipercaya, sehingga dunia semakin indah karena orang lain pun akan
berbuat yang sama setelah merasakan pelayanan dan kredibilitas Anda.