Saudara-saudariku yang dikasihi oleh Tuhan,
Saya amat yakin bahwa semua yang hadir di sini mengharapkan: keselamatan dan kebahagiaan, kedamaian hati dan ketentraman jiwa, kejujuran dan ketulusan, kebijaksanaan dan kesejahteraan. Apakah ada yang tidak mengharapkan itu semua??
Nah…itu jugalah yang diharapkan oleh Petrus Rasul Yesus dalam sabda Tuhan hari ini. Sehingga ketikaYesus memberitahukan bahwa diriNya akan menderita, sengsara bahkan dibunuh, Petrus mengatakan ITU TIDAK MUNGKIN (ay. 22). Bagi Petrus Yesus adalah Mesias sang penyelamat. Maka Ia pasti juga akan menyelamatkan diriNya. Dengan demikian pengakuannya (Minggu yang lalu) bahwa Yesus adalah Mesias sang penyelamat, sekaligus mengandung suatu harapan agar ia turut diselamatkan.
Tetapi…. apa yang dipikirkan oleh Petrus itu tidak sejalan dengan yang dipikirkan oleh Tuhan Yesus. Yesus justru menegur Petrus dgn keras, Enyahlah Iblis! (ay.23).
Saudara/i ku. Teguran ini bisa ditangkap seperti dampratan, yang sama kerasnya dengan yang diarahkan kepada penggoda di padang gurun. Terlebih bila diucapkan tanpa adanya jeda. Itulah reaksi keras Yesus.
Pertanyaannya: Mengapa Petrus ditegur?
Teguran ini secara harafiah dimaksudkan agar iblis (yang menguasai Petrus) itu pergi. Dengan kata lain dapat di serukan Pergilah dari hadapanKu hai Iblis! Iblis yang dimaksudkan di sini? Tak lain adalah keinginan manusiawi Petrus.
Saudara/i ku. Teguran Yesus itu harus dimengerti sebagai suatu sikap guru bijak yang mengingatkan muridnya akan suatu situasi krirsis yang mungkin akan terjadi. Mengharapkan keselamatan dan ketentraman jiwa bersama Yesus itu belum cukup, bila tidak dibarengi dengan adanya usaha untuk mencapai apa yang diharapkan itu.
Ada sebuah kisah dari negeri entah berantah.
Pada suatau malam, seorang peziarah bermimpi masuk suatu toko baru. Betapa terkejutnya dia, karena Tuhan berjualan di situ. Ia bertanya, Tuhan, Engkau menjual apa di sini?
Tuhan menjawab, Apa saja yang menjadi keinginan hatimu.
Yakin bahwa yang dicarinya selama ini akan dapat ia temukan di toko Tuhan ini, maka peziarah itu berkata, Kalau demikian aku ingin membeli kedamaian hati dan ketentraman jiwa, kejujuran dan ketulusan, kebijaksanaan dan kesejahteraan, tidak hanya untuk saya, tetapi untuk seluruh bangsa bahkan seluruh dunia.
Waktu itu Tuhan tersenyum dan menjawab, Ku kira engkau tidak mengerti dengan baik. Di sini tidak dijual buah. Yang ditawarkan adalah benih.
Saudara-saudariku yang dikasihi oleh Tuhan,
Apa yang kita harapkan itu sering kali adalah buahnya. Dan buah itu tidak mungkin ada ketika tidak ada benih yang ditanam, dirawat, dipelihara dst. Maka kedamaian hati dan ketentraman jiwa, kejujuran dan ketulusan, kebijaksanaan dan kesejahteraan yang semua itu adalah buahnya. Tidahk mungkin serta merta kita dapatkan,. Kita harus menanam, merawat, menjaga dan memelihara sehingga apa yang kita harapkan atau buah itu bias kita nikmati. Benih itu mensyaratkan adanya kemauan untuk menyemai, menanam, merawat dan akhirnya baru menuai.
Bagi Paulus dalam bacaan II, Ia mengajak atau menasihatkan agar kita mulai menanam kekudusan hidup, menyemainya, merawat, memelihara dan akhirnya menuai dalam hidup kita. Tentu ini tak sekedar menjadi serupa dengan dunia ini, dengan kebanyakan orang, namun mempunyai sikap yang tegas akan keadaan yang ada dalam hidup masing-masing.
Bagi Yeremia seorang Nabi, Rasul dan orang beriman yang sejati adalah mereka yang memiliki sikap bahwa “dalam hatiku ada sesuatu seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku...” Sesuatu itu adalah Roh Allah yang diandalkan dan bukan roh yang lain seperti yang dilakukan Petrus yang mengandalkan ambisi manusiawinya.
Bagi kita, Harapan kita tadi bisa terwujud bila kita juga mengusahakannya.
Kita juga dapat menanam sesuatu yang baik, menyemainya, merawat, memelihara dan akhirnya menuai dalam hidup kita. Tentu hanya dengan Roh Allahlah. Kita bisa sampai kepada harapan-harapan kita.
No comments:
Post a Comment