Pada suatu ketika seorang siswa bertanya kepada gurunya: Untuk apa orang Katolik itu mengaku dosa kepada Pastor. Toh sebelum dan sesudah mengaku dosa juga yaa tetap gitu-gitu aja. Lagian seperti aku, khan ngga pernah berbuat dosa besar.
Nah kalau pertanyaan ini ditujukan kepada Anda, lalu apa jawabannya???
Pertama-tama, kita diajak menyadari betapa pentingnya kesadaran diri sebagai pendosa. Bagi seorang pendosa, kebutuhan yang mendasar adalah bahwa dirinya diampuni. Dan pengampunan itu hanya mungkin bila orang itu memiliki IMAN. Lalu tanda iman adalah? TOBAT. Orang dikatakan memiliki iman bila dia juga mempunyai disposisi atau sikap tobat yang terus menerus dalam hidupnya.
Sikap tobat itulah yang diungkapkan dalam sakramen rekonsiliasi. Oleh sebab itu dalam sakramen tobat itu bukan sekedar mengakukan dosa-dosa kita, tetapi lebih dari pada itu bahwa kita hendak mengungkapkan tobat kita di hadapan Allah, dengan mengakui dan menyesali lalu membangun sikap tobat yang konkrit dalam hidup kita.
Rahmat pengampunan itu hanya mungkin karena kasih Allah yang begitu besar kepada kita. Paulus mengatakan dalam 1Kor 15:8-10: Dan yang paling akhir dari semuanya,.......
Injil Luk 7:36-50, mengajak kita menyadari betapa penting yang namanya pengampunan. Bahwa dengan pengampunan, orang berubah menjadi baru.
Kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang berdosa identik dengan kesadaran dan penghayatan diri sebagai yang beriman’ itulah kebenaran yang selayaknya diamini oleh siapapun yang mengaku diri sebagai orang beriman.
Perempuan pendosa sebagaimana diceriterakan dalam Warta Injil hari ini adalah yang telah menerima kasih pengampunan Tuhan, maka ia mempersembahkan kepada Tuhan apa yang telah diterimanya. Ia menjadi penjelmaan Allah yang pengampun dan penuh belas kasih, sehingga ia mau mempersembahkan kasih yang melimpah bagi dunia.
Semakin banyak dosa yang diakui, disesali dan ditobati, maka semakin besarlah rahmat Allah itu. Namun simon? Allah tidak dapat melakukan apa-apa.
Ibu Teresa dari Calcuta-India ketika memperoleh hadiah Nobel Perdamaian menjadi sorotan dan perhatian dunia, khususnya para wartawan. Ada seorang wartawan yang mewancarai Ibu Teresa, antara lain pertanyaan demikian: “Banyak orang melihat dan mengakui ibu sebagai santa yang masih hidup alias orang suci. Menurut ibu suci itu apa?” . Dengan rendah hati dan lemah lembut Ibu Teresa menjawab:”Orang suci itu bagaikan lobang kecil dimana orang melalui lobang tersebut dapat melihat siapa itu Tuhan, siapa sesama manusia dan apa itu harta benda”.
Kiranya melalui Ibu Teresa, apa yang ia katakan dan lakukan, kita dapat dan mengimani bahwa Tuhan itu Mahakasih dan Mahamurah, manusia adalah gambar atau citra Allah yang menjadikan kita semakin beriman, mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan.
Semoga Kita senantiasa membangun sikap tobat terus-menerus dalam hidup kita, sehingga kita beroleh rahmat yang berlimpah.
Aku harus Bangga sebagai Katolik
Saudara-saudariku yang dikasihi oleh Tuhan,
Saya amat yakin bahwa semua yang hadir di sini mengharapkan: keselamatan dan kebahagiaan, kedamaian hati dan ketentraman jiwa, kejujuran dan ketulusan, kebijaksanaan dan kesejahteraan. Apakah ada yang tidak mengharapkan itu semua??
Nah…itu jugalah yang diharapkan oleh Petrus Rasul Yesus dalam sabda Tuhan hari ini. Sehingga ketikaYesus memberitahukan bahwa diriNya akan menderita, sengsara bahkan dibunuh, Petrus mengatakan ITU TIDAK MUNGKIN (ay. 22). Bagi Petrus Yesus adalah Mesias sang penyelamat. Maka Ia pasti juga akan menyelamatkan diriNya. Dengan demikian pengakuannya (Minggu yang lalu) bahwa Yesus adalah Mesias sang penyelamat, sekaligus mengandung suatu harapan agar ia turut diselamatkan.
Tetapi…. apa yang dipikirkan oleh Petrus itu tidak sejalan dengan yang dipikirkan oleh Tuhan Yesus. Yesus justru menegur Petrus dgn keras, Enyahlah Iblis! (ay.23).
Saudara/i ku. Teguran ini bisa ditangkap seperti dampratan, yang sama kerasnya dengan yang diarahkan kepada penggoda di padang gurun. Terlebih bila diucapkan tanpa adanya jeda. Itulah reaksi keras Yesus.
Pertanyaannya: Mengapa Petrus ditegur?
Teguran ini secara harafiah dimaksudkan agar iblis (yang menguasai Petrus) itu pergi. Dengan kata lain dapat di serukan Pergilah dari hadapanKu hai Iblis! Iblis yang dimaksudkan di sini? Tak lain adalah keinginan manusiawi Petrus.
Saudara/i ku. Teguran Yesus itu harus dimengerti sebagai suatu sikap guru bijak yang mengingatkan muridnya akan suatu situasi krirsis yang mungkin akan terjadi. Mengharapkan keselamatan dan ketentraman jiwa bersama Yesus itu belum cukup, bila tidak dibarengi dengan adanya usaha untuk mencapai apa yang diharapkan itu.
Ada sebuah kisah dari negeri entah berantah.
Pada suatau malam, seorang peziarah bermimpi masuk suatu toko baru. Betapa terkejutnya dia, karena Tuhan berjualan di situ. Ia bertanya, Tuhan, Engkau menjual apa di sini?
Tuhan menjawab, Apa saja yang menjadi keinginan hatimu.
Yakin bahwa yang dicarinya selama ini akan dapat ia temukan di toko Tuhan ini, maka peziarah itu berkata, Kalau demikian aku ingin membeli kedamaian hati dan ketentraman jiwa, kejujuran dan ketulusan, kebijaksanaan dan kesejahteraan, tidak hanya untuk saya, tetapi untuk seluruh bangsa bahkan seluruh dunia.
Waktu itu Tuhan tersenyum dan menjawab, Ku kira engkau tidak mengerti dengan baik. Di sini tidak dijual buah. Yang ditawarkan adalah benih.
Saudara-saudariku yang dikasihi oleh Tuhan,
Apa yang kita harapkan itu sering kali adalah buahnya. Dan buah itu tidak mungkin ada ketika tidak ada benih yang ditanam, dirawat, dipelihara dst. Maka kedamaian hati dan ketentraman jiwa, kejujuran dan ketulusan, kebijaksanaan dan kesejahteraan yang semua itu adalah buahnya. Tidahk mungkin serta merta kita dapatkan,. Kita harus menanam, merawat, menjaga dan memelihara sehingga apa yang kita harapkan atau buah itu bias kita nikmati. Benih itu mensyaratkan adanya kemauan untuk menyemai, menanam, merawat dan akhirnya baru menuai.
Bagi Paulus dalam bacaan II, Ia mengajak atau menasihatkan agar kita mulai menanam kekudusan hidup, menyemainya, merawat, memelihara dan akhirnya menuai dalam hidup kita. Tentu ini tak sekedar menjadi serupa dengan dunia ini, dengan kebanyakan orang, namun mempunyai sikap yang tegas akan keadaan yang ada dalam hidup masing-masing.
Bagi Yeremia seorang Nabi, Rasul dan orang beriman yang sejati adalah mereka yang memiliki sikap bahwa “dalam hatiku ada sesuatu seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku...” Sesuatu itu adalah Roh Allah yang diandalkan dan bukan roh yang lain seperti yang dilakukan Petrus yang mengandalkan ambisi manusiawinya.
Bagi kita, Harapan kita tadi bisa terwujud bila kita juga mengusahakannya.
Kita juga dapat menanam sesuatu yang baik, menyemainya, merawat, memelihara dan akhirnya menuai dalam hidup kita. Tentu hanya dengan Roh Allahlah. Kita bisa sampai kepada harapan-harapan kita.
Saya amat yakin bahwa semua yang hadir di sini mengharapkan: keselamatan dan kebahagiaan, kedamaian hati dan ketentraman jiwa, kejujuran dan ketulusan, kebijaksanaan dan kesejahteraan. Apakah ada yang tidak mengharapkan itu semua??
Nah…itu jugalah yang diharapkan oleh Petrus Rasul Yesus dalam sabda Tuhan hari ini. Sehingga ketikaYesus memberitahukan bahwa diriNya akan menderita, sengsara bahkan dibunuh, Petrus mengatakan ITU TIDAK MUNGKIN (ay. 22). Bagi Petrus Yesus adalah Mesias sang penyelamat. Maka Ia pasti juga akan menyelamatkan diriNya. Dengan demikian pengakuannya (Minggu yang lalu) bahwa Yesus adalah Mesias sang penyelamat, sekaligus mengandung suatu harapan agar ia turut diselamatkan.
Tetapi…. apa yang dipikirkan oleh Petrus itu tidak sejalan dengan yang dipikirkan oleh Tuhan Yesus. Yesus justru menegur Petrus dgn keras, Enyahlah Iblis! (ay.23).
Saudara/i ku. Teguran ini bisa ditangkap seperti dampratan, yang sama kerasnya dengan yang diarahkan kepada penggoda di padang gurun. Terlebih bila diucapkan tanpa adanya jeda. Itulah reaksi keras Yesus.
Pertanyaannya: Mengapa Petrus ditegur?
Teguran ini secara harafiah dimaksudkan agar iblis (yang menguasai Petrus) itu pergi. Dengan kata lain dapat di serukan Pergilah dari hadapanKu hai Iblis! Iblis yang dimaksudkan di sini? Tak lain adalah keinginan manusiawi Petrus.
Saudara/i ku. Teguran Yesus itu harus dimengerti sebagai suatu sikap guru bijak yang mengingatkan muridnya akan suatu situasi krirsis yang mungkin akan terjadi. Mengharapkan keselamatan dan ketentraman jiwa bersama Yesus itu belum cukup, bila tidak dibarengi dengan adanya usaha untuk mencapai apa yang diharapkan itu.
Ada sebuah kisah dari negeri entah berantah.
Pada suatau malam, seorang peziarah bermimpi masuk suatu toko baru. Betapa terkejutnya dia, karena Tuhan berjualan di situ. Ia bertanya, Tuhan, Engkau menjual apa di sini?
Tuhan menjawab, Apa saja yang menjadi keinginan hatimu.
Yakin bahwa yang dicarinya selama ini akan dapat ia temukan di toko Tuhan ini, maka peziarah itu berkata, Kalau demikian aku ingin membeli kedamaian hati dan ketentraman jiwa, kejujuran dan ketulusan, kebijaksanaan dan kesejahteraan, tidak hanya untuk saya, tetapi untuk seluruh bangsa bahkan seluruh dunia.
Waktu itu Tuhan tersenyum dan menjawab, Ku kira engkau tidak mengerti dengan baik. Di sini tidak dijual buah. Yang ditawarkan adalah benih.
Saudara-saudariku yang dikasihi oleh Tuhan,
Apa yang kita harapkan itu sering kali adalah buahnya. Dan buah itu tidak mungkin ada ketika tidak ada benih yang ditanam, dirawat, dipelihara dst. Maka kedamaian hati dan ketentraman jiwa, kejujuran dan ketulusan, kebijaksanaan dan kesejahteraan yang semua itu adalah buahnya. Tidahk mungkin serta merta kita dapatkan,. Kita harus menanam, merawat, menjaga dan memelihara sehingga apa yang kita harapkan atau buah itu bias kita nikmati. Benih itu mensyaratkan adanya kemauan untuk menyemai, menanam, merawat dan akhirnya baru menuai.
Bagi Paulus dalam bacaan II, Ia mengajak atau menasihatkan agar kita mulai menanam kekudusan hidup, menyemainya, merawat, memelihara dan akhirnya menuai dalam hidup kita. Tentu ini tak sekedar menjadi serupa dengan dunia ini, dengan kebanyakan orang, namun mempunyai sikap yang tegas akan keadaan yang ada dalam hidup masing-masing.
Bagi Yeremia seorang Nabi, Rasul dan orang beriman yang sejati adalah mereka yang memiliki sikap bahwa “dalam hatiku ada sesuatu seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku...” Sesuatu itu adalah Roh Allah yang diandalkan dan bukan roh yang lain seperti yang dilakukan Petrus yang mengandalkan ambisi manusiawinya.
Bagi kita, Harapan kita tadi bisa terwujud bila kita juga mengusahakannya.
Kita juga dapat menanam sesuatu yang baik, menyemainya, merawat, memelihara dan akhirnya menuai dalam hidup kita. Tentu hanya dengan Roh Allahlah. Kita bisa sampai kepada harapan-harapan kita.
Subscribe to:
Posts (Atom)