Keterkejutan

Kita tentu mengalami suatu pengalaman keterkejutan. Terkejut memperoleh hadiah. Terkejut disapa oleh tokoh idola kita. Terkejut karena dikabulkan doanya...dan masih banyak lagi keterkejutan. Adalah mekanisme psikologis dimana adanya kebaruan kesadaran, yang biasanya disertai atau diikuti rasa takut.

Penginjil Lukas menampilkan kepada kita pengalaman keterkejutan karena didatangi Malaikat. Zakaria yang “…terkejut dan menjadi takut” (Luk 1:12). Maria juga setelah mendengar salam damai dari Gabriel, “... terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu” (Luk 1:29).

Ada yang membedakan keterkejutan Zakaria dan Maria. Zakharia, yang ketika terkejut disertai dengan ketakutan dan hanya melihat kesulitan belaka. Sementara Maria yang meskipun terguncang batinnya tetap  berani bertanya pada diri sendiri, memikirkan dan mencari makna kata-kata sang malaikat. Kehidupan Maria memang sebuah kehidupan untuk menemukan arti salam dari Malaikat Gabriel, meskipun bagi Maria itu juga tak selalu mudah, bahkan harus berhadapan dengan banyak penderitaan. Kemauannya untuk mengerti dan memahami kedatangan Roh Allah kepadanya itulah yang justru menjadi kekuatannya.

Malaikat Gabriel mengajar Maria agar semakin berani hidup menurut jalan yang tak terduga dan kadang mengejutkan, tapi bukan asal-asalan. Dari situ Maria akan menemukan anugerah “yang ada di hadapan Allah”. Sejak saat itu Maria hidup menyongsong kelahiran Dia yang akan datang dalam wujud manusia. Maria begitu siap untuk menerima semua itu. Ia mengucapkan kesediaannya dengan tulus, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38).

Berita tentang kedatangan Malaikat Gabriel kepada Maria, yang mengejutkan itu, dapat membantu kita untuk membaca dan mencermati kembali pengalaman hidup kita masing-masing. Kehadiran 'malaikat-malaikat' (orang tua, anak, pasangan hidup, sahabat, teman, rekan kerja, atasan, guru, siswa, dokter, perawat, pasien, dst) yang sering membuat terkejut itu juga dapat membuat kita makin menyadari dan mendekat kepada Allah, tentunya bila kita mau mencari tahu dan menyelami artinya.

Mengenal Solidaritas Allah dalam sikap SP Maria

Luk 1:39-56

Hari ini adalah hari raya St. Perawan Maria diangkat ke surga. Pernyataan bahwa Maria diangkat ke surga rasanya hingga sekarang selalu mengundang tanya banyak orang: siapakah Maria sehingga ia diangkat kesurga? Apa maksudnya pernyataan itu?
Injil yang baru saja kita dengarkan menawarkan kepada kita sebuah peristiwa bahwa Maria mengunjungi Elisabet saudarinya. Apa maksud peristiwa itu? Pada kesempatan kali ini, di HR SP Maria diangkat ke surge, saya tertarik untuk mengajak saudari dan saudaraku untuk memandang peristiwa itu sebagai saat epifani. Ada dua pertanyaan:

1) Mengapa sebuah saat EPIFANI? Kita tahu bahwa Epifani adalah sebuah penampakan Tuhan, dalam konteks ini adalah sebuah penampakan Tuhan kepada Elisabet. Kita mendengar: Maria masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus.
Adalah sebuah pertemuan yang bukan biasa-biasa saja, melainkan sungguh-sungguh luar biasa. Sebuah pertemuan yang menampakan kehadiran Allah dalam Rahim Maria yang diwartakan kepada Elisabet.
Dan rasanya kita semua setuju bahwa siapa pun yang memiliki Allah dalam dirinya, ia akan memancarkan kegembiraan, sukacita, kesejukan, harapan dan damai bagi yang ada di sekitarnya. Demikian lah yang terjadi di saat Epifani yang dibuat Allah melalui kunjungan Maria.

2) Allah yang seperti apa dalam Epifani yang dimaksudkan di sini?
Allah yang diwartakan oleh Maria adalah Allah yang solider kepada mereka yang lemah. Maria berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabeth.
Selain tempat bertemu dengan Allah, pegunungan di sini juga mengindikasikan situasi yang penuh dengan tantangan, kesulitan. Bahkan dalam tradisi Israel, pegunungan dipandang sebagai sebuah tempat di mana orang-orang diasingkan dari masyarkat dengan berbagai situasi atau alasan: entah karena kusta, pelacur, mereka yang tidak dikaruniai anak atau mandul.

Dengan demikian jelas bahwa Allah yang solider itu ditunjukkan melalui sikap Maria yang begitu perhatian terhadap situasi Elisabeth dan Zakaria yang sedang mengalami saat-saat sulit, karena mengandung dan juga karena hari tua mereka, juga situasi sulit karena status sosial mereka. Solidaritas Maria membuat Elisabet dan Zakaria merasa dihibur, diteguhkan, lebih dari itu dikembalikan harga diri dan martabat mereka. Mereka merasa disapa, merasa dimanusiakan.

Melalui sikap Maria, Allah mengajarkan kepada kita tentang sikap peduli, sikap solider terhadap yang lain, khususnya mereka yang begitu lemah dari antara kita. Kunjungan Maria, salam yang diberikan Maria kepada Elisabet adalah bentuk konkrit dari cinta yang dibuat Maria. Cinta Maria itu menjadi semacam pintu yang membukakan rahmat Allah dan harapan kepada Elisabeth, kepada mereka yang begitu membutuhkan, dan terlebih kepada dunia kita saat ini. Semoga hati kita peka akan undangan Tuhan itu, dan menjadi peduli serta solider terhadap kesulitan orang-orang di sekitar kita.

Ia memikul beban itu bersama dengan kita

Matius 11:28-30

Salah satu kebutuhan utama manusia adalah ketenangan dalam hidupnya. Ada di dalamnya rasa aman, nyaman, gembira dst. Dan kebutuhan itulah yang dicermati oleh Yesus dalam perikop singkat dari Injil hari ini.

Tetapi, yang menarik di sini bahwa Yesus menawarkan ketenangan dengan cara memikul kuk. Kuk adalah balok kayu yang ditaruh atau diletakkan di atas pundak sapi atau lembu untuk menarik sesuatu. Dengan menggunakan kuk, sapi atau lembu dapat dipakai untuk membajak sawah, menarik gerobak, dan lain-lain.

Berbicara tentang kuk yang ditawarkan oleh Yesus, mungkin terlintas di pikiran kita suatu beban, kesulitan, masalah…sehingga mudah sekali kita mempertanyakan: bagaimana mungkin seseorang dapat merasa tenang ketika berada dalam masalah atau ketika memiliki beban.

Undangan Yesus adalah: “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (ay 28). Rasanya menjadi sebuah undangan yang tak akan pernah usang ditelan zaman. Undangan ini mau menggarisbawahi bahwa Tuhan sungguh-sungguh tahu apa yang sedang kita alami di dalam hidup ini. Ia sangat megenali rasa letih dan lesu kita, yang kadang kita espresikan melalui keluhan, mungkin karena perkerjaan kita, alam di sekitar kita, orang-orang di sekitar kita. Singkatnya bahwa banyak orang yang merasa harus memikul beban yang berat, diundang datang kepadaNya.

"Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (ay 29-30).

Pertama-tama kita diundang untuk belajar merendahkan hati, khususnya ketika kita tengah bergumul dengan suatu masalah yang tidak dapat kita atasi sendiri. Sayangnya bahwa masih banyak orang tidak mau mengakuinya, padahal ada banyak permasalahan di dalam hidup ini yang tidak dapat kita tanggung dengan kekuatan sendiri.

Yang kedua, adalah berserah. Yesus berkata, “Pikullah kuk yang Kupasang.” Jika kuk adalah adalah sebatang kayu yang dibentuk untuk mengekang dua ekor sapi, dan menjaga mereka supaya terikat bersama sehingga mereka dapat berbagi beban secara seimbang. Maka, memikul kuk bagi kita berarti taat kepada Dia dan mau bekerja untuk Dia.

Seruan Yesus untuk memikul, itu bukan berarti bahwa Dia ingin menambahkan beban kepada kita. Sebaliknya Dia justru mengajak kita untuk BERSERAH dan BERBAGI, sehingga kita dapat terus berjalan bersama-Nya sambil memikul bersama beban itu, sehingga beban kitapun akan menjadi lebih ringan. Beban hidup ini bukanlah semata-mata permasalahan hidup saja, melainkan juga menyangkut cara pikir kita yang salah dan perasaan bersalah yang terus-menerus menekan kita.

Kita tahu satu-satunya cara Tuhan untuk mengangkat beban kita adalah dengan kerelaan-Nya memikul beban itu bersama dengan kita; tetapi di saat yang sama itu kita juga harus menyerahkan diri kepada-Nya, agar Dia dapat mulai mengendalikan hidup kita!

Menjadi semakin beriman dan semakin pendoa

Markus 9:14-29

Rasanya Iman dan Doa adalah dua hal yang semestinya selalu ada bersamaan dan semestinya ditempatkan pada tempatnya dengan benar.
Ketika dua elemen penting ini (iman dan doa) tidak ada dalam kehidupan seseorang, atau dalam sebuah keluarga, atau sebuah komunitas religius; atau dalam sebuah lingkungan, wilayah bahkan paroki: apa yang akan terjadi?

Terbukalah lebar pintu dan jendela bagi setan, bagi yang jahat, bagi dosa, sehingga masuk dan merusak hidup orang itu, keluarga itu, komunitas itu. Mulai saat itulah, setan yang akan menjadi tuan atas semua. Secara rohani orang itu akan merasakan yang namanya sakit dan penderitaan, dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak kepada fisik dan emosionalnya.

Kegagalan para rasul, yang tidak mampu untuk mengusir setan berasal dari alasan yang sama: kurangnya iman dan kurangnya doa. Kita tahu bahwa doa mengungkapkan ketergantungan manusia pada Allah dan kepercayaan pada-Nya. Kegagalan para murid sebelumnya dikarenakan terlalu percaya diri dan kurang menaruh kepercayaan kepada Allah, sehingga mereka gagal dalam mengusir roh jahat yang merasuki anak itu.

Maka kata Yesus kepada mereka: "Hai kamu angkatan yang tidak percaya, berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu? Berapa lama lagi Aku harus sabar terhadap kamu? Bawalah anak itu ke mari!"

Lalu pada kesempatan lain, ketika Yesus sudah di rumah, dan murid-murid-Nya sendirian dengan Dia, bertanyalah mereka: "Mengapa kami tidak dapat mengusir roh itu?" Jawab-Nya kepada mereka: "Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa."

Rm. Anselmus di basilika St. Petrus
Dalam Gereja Katolik mungkin saudari dan saudaraku pernah mendengar dan bahkan memahami atau mengalaminya dengan cara khusus pengusiran setan oleh seorang imam atau uskup. Tetapi setiap orang percaya, termasuk juga kita, Anda dan saya, pun tahu dan mampu menjauhkan diri dari setan, dari yang jahat, dari dosa melalui dan dalam doa, iman dan dalam kepercayaan kita akan Allah tanpa syarat apapun. Yesus juga menggaris bahwahi di sini: "Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!"

Tantangan bagi kita yang telah dan sedang memelihara iman dengan doa-doa kita adalah bagaimana kita menjadi orang yang semakin beriman, yang semakin pendoa. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong kita adalah: dalam imanku apakah aku juga menemukan Allah yang begitu mengasihiku? Apakah aku juga memiliki waktu cukup dan khusus untuk senantiasa bertekun dalam doa-doa kita? Apakah kita juga melakukannaya dengan hati yang tulus dan bebas? Kita, Anda dan saya diberi Tuhan hati dan akal budi, mari kita wujudkan. Tuhan sanantiasa memberkati niat-niat baik kita.

Menjadi gembala bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain

Yohanes 10:27-30

Hari ini adalah HARI MINGGU PASKAH IV, Gereja mendedikasikannya sebagai hari Minggu Panggilan. Suatu hari Minggu yang menandai adanya gerakan doa bersama, bersyukur dan memohon kepada Allah: Panggilan Imam, Bruder dan Suster untuk menjadi pekerja di kebun Anggur Tuhan.

Kita ingat bahwa Paus Paulus VI menyatakan bahwa panggilan itu sendiri berhubungan langsung dengan kehidupan seluruh umat beriman, katanya: ”di mana dapat ditemukan banyak panggilan imam dan hidup bakti, di sana terdapat banyak orang yang menghayati injil dengan tulus.”  Panggilan yang subur di suatu tempat menjadi indicator dinamika kehidupan iman, harapan dan kasih dari setiap umat di tempat itu, baik itu sebagai lingkungan, wilayah, paroki maupun keuskupan, dan sekaligus menjadi bukti kesehatan moral dari keluarga-keluarga Kristen.

Hari ini, melalui Injil Yohanes 10:27-30, Yesus berbicara tentang Gembala yang baik. Ide tentang Gembala yang baik, rasanya masih faktual di zaman ini, meski terkesan mustahil bagi pikiran manusia, di karenakan kita masih menjumpai lemahnya rasa peduli dan rasa saling mengharagi satu dengan yang lainnya, berkembangnya egoisme, dan berbagai krisis yang ada.

Melalui sabda Tuhan tersebut, jelas bahwa kita masing-masing dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam karya menjadi gembala yang baik dalam kesaksian hidup kita masing-masing. Orangtua dipanggil sebagai gembala yang baik bagi anak-anaknya. Imam dan biarawan-biarawati dipanggil sebagai gembala yang baik bagi komunitasnya, bagi umatnya. Para guru dipanggil sebagai gembala yang baik bagi para anak didiknya. Para pengusaha dipanggil sebagai gembala yang baik bagi para karyawannya, dan demikian juga pemerintah juga dipanggil menjadi gembala yang baik bagi rakyatnya.

Sebuah ziarah ke Siena 24 Mei 2014
Penting duntuk diingat bahwa Gembala yang baik selalu menyadari kesatuanNya dengan Allah Bapa. Gembala yang baik akan selalu menjadikan Kristus sebagai pintu masuk ke dalam kandang domba. Bila tidak, maka kita adalah pencuri, pengacau, perusak den pengganggu bagi domba-domba yang dipercayakan kepada kita.

Dengan demikian, bila di hari Minggu Panggilan ini Yesus sebagai Sang Gembala Agung menyatakan kepada kita: ”Dombaku mendengarkan suara-Ku; Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku. Aku memberikan hidup kekal kepada mereka dan mereka tidak akan binasa dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.”(Yoh.10:29). Artinya, kita sekalian diundang untuk menyadari janji Tuhan untuk hidup kekal itu. Dia sendiri menjanjikan hidup kekal, hidup yang tidak akan berakhir, dan kita akan aman dalam bimbingannya, … kalau kita siap mendengarkan suara-Nya.

Konkritnya, kita diundang untuk menciptakan suasana rumah tangga yang penuh iman agar rumah kita menjadi tempat yang subur untuk bertumbuhnya panggilan umum menjadi orang yang sungguh-sungguh beriman, maupun panggilan hidup khusus sebagai imam, bruder dan suster. Kita diundang untuk menciptakan dan memelihara suasana komunitas kita yang religius, yang humanis dan yang profetis.

Mari kita bersama berdoa semoga Tuhan sanantiasa memberkati niat-niat baik kita.