Mrk 1:40-45
Ada banyak faktor yang menentukan bagus atau tidaknya gambar yang dihasilkan ketika seseorang memotret. Keberadaan objek, situasi saat gambar diambil dan juga siapa yang berperan membidik gambar.
Betapa banyak orang gagal dalam melakukan sesuatu, bukan karena ia tidak punya kemampuan atau ketrampilan untuk melakukannya, tetapi karena ia tidak tahu cara bagaimana melakukan apa yang mesti dilakukannya.
Terkadang maksud yang baik ketika disampaikan dengan cara yang salah atau pada waktu yang tidak tepat, maka tak jarang juga akan menimbulkan persoalan, bahkan tidak membuahkan hasil.
Di sini penting sekali soal cara. Kita tidak bia mengabaikan soal cara.
Demikian pun dengan seluruh hidup Yesus dan apa yang Dia lakukan dalam karyanya, pun tak lepas dengan yang namanya cara. Setidaknya kita bisa mencermati bacaan Injil hari ini.
Kisah ini sangat menarik. Ada beberapa hal yang dapat kita simak.
Pertama, konteks bacaaan adalah perjumpaan si Kusta dan Yesus; situasi di tengah perjalanan (1:21-45 sebuah perjalanan pemberitaan Injil di Kapernaum dan pedesaan Galilea), ...Hal ini melukiskan bahwa ada saat di mana kita mengalami, menyaksikan surutnya kehidupan. Kesulitan, kegagalan, sakit, derita dan kemalangan, pun biasanya terjadi di luar rencana kita. Bisa saja kita menerimanya, karena kita sudah memperhitungkannya. Tetapi juga bisa jadi kecewa dan frustrasi karena kita tidak siap. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kadang kita butuh pertolongan sesama untuk mengurangi rasa sakit, meringankan beban yang sedang kita tanggung, karena ada hal-hal yang tidak dapat kita lakukan sendiri. Di sini, kesadaran akan situasi diri sangat perlu, kesediaan untuk ditolong adalah keharusan, kerendahan hati harus menjadi sikap dasar.
Kedua, cara Yesus memposisikan diriNya. Kita hanya mungkin mengenal, mengetahui situasi sesama dan dapat memberi pertolongan yang dibutuhkan bila kita bersedia meninggalkan diri kita sendiri, memasuki dunia hidup sesama untuk bisa melihat kenyataan hidup mereka yang sesungguhnya, menempatkan diri pada posisi mereka. Kita bisa melihat bagaimana cara Yesus hadir. Betapa sering, kita sulit mengetahui situasi sesama, merasakan pahitnya hidup mereka karena kita hanya berputar pada dunia diri kita yang sempit dan penuh kalkulasi.
Ketiga, Si kusta... ‘kalau Engkau mau’. Di sini tampak jelas bahwa si kusta rindu disembuhkan. Dia membutuhkan pertolongan tetapi dia tahu orang yang diminta punya putusan sendiri, dia memberikan kebebasan kepada Yesus untuk menentukan sikap. Kadang atau betapa sering apa yang kita pikirkan, harapkan, atau minta, tidak kita dapatkan. Mengapa? Karena pikiran, harapan atau permintaan kita justru mengurung kebebasan orang untuk bertindak sesuatu sesuai dorongan jiwanya. Lalu kekesalan atau kebencian bahkan akan bisa muncul saat kita tidak mendapatkan apa yang kita harapkan.
Saudari dan saudaraku,
Kita tahu bahwa penyakit kusta membuat si penderitanya mengalami penderitaan ganda, yaitu penyakit itu sendiri dan ia harus dikucilkan dari kebersamaan.
Dalam keseharian hidup kita, mungkin saja kita tidak pernah menjumpai orang yang sedang menderita kusta. Tetapi penderitaan yang sama kadang dialami oleh seseorang, atau bahkan diri kita sendiri. Penderitaan karena dikucilkan dari kebersamaan, mungkin karena hati kita yang mudah membenci, iri hati, dendam, tidak suka mengalah, rakus, angkuh dan aneka penyakit sosial lainnya. Dan tragisnya, kita sulit disembuhkan karena tidak menerima pertolongan dari yang lain, karena kurang rendah hati.
Hari ini melalui SabdaNya, Yesus mengingatkan dan sekaligus mengundang kita untuk menjadi seorang yang siap untuk keluar dari diri sendiri dan merasakan apa yang sedang dialami sesama; mau menolong ataupun mempunyai kesediaan untuk ditolong dan penting sekali bahwa kita tahu bagaimana caranya mendapatkan pertolongan.