Mengenal Solidaritas Allah dalam sikap SP Maria

Luk 1:39-56

Hari ini adalah hari raya St. Perawan Maria diangkat ke surga. Pernyataan bahwa Maria diangkat ke surga rasanya hingga sekarang selalu mengundang tanya banyak orang: siapakah Maria sehingga ia diangkat kesurga? Apa maksudnya pernyataan itu?
Injil yang baru saja kita dengarkan menawarkan kepada kita sebuah peristiwa bahwa Maria mengunjungi Elisabet saudarinya. Apa maksud peristiwa itu? Pada kesempatan kali ini, di HR SP Maria diangkat ke surge, saya tertarik untuk mengajak saudari dan saudaraku untuk memandang peristiwa itu sebagai saat epifani. Ada dua pertanyaan:

1) Mengapa sebuah saat EPIFANI? Kita tahu bahwa Epifani adalah sebuah penampakan Tuhan, dalam konteks ini adalah sebuah penampakan Tuhan kepada Elisabet. Kita mendengar: Maria masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus.
Adalah sebuah pertemuan yang bukan biasa-biasa saja, melainkan sungguh-sungguh luar biasa. Sebuah pertemuan yang menampakan kehadiran Allah dalam Rahim Maria yang diwartakan kepada Elisabet.
Dan rasanya kita semua setuju bahwa siapa pun yang memiliki Allah dalam dirinya, ia akan memancarkan kegembiraan, sukacita, kesejukan, harapan dan damai bagi yang ada di sekitarnya. Demikian lah yang terjadi di saat Epifani yang dibuat Allah melalui kunjungan Maria.

2) Allah yang seperti apa dalam Epifani yang dimaksudkan di sini?
Allah yang diwartakan oleh Maria adalah Allah yang solider kepada mereka yang lemah. Maria berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabeth.
Selain tempat bertemu dengan Allah, pegunungan di sini juga mengindikasikan situasi yang penuh dengan tantangan, kesulitan. Bahkan dalam tradisi Israel, pegunungan dipandang sebagai sebuah tempat di mana orang-orang diasingkan dari masyarkat dengan berbagai situasi atau alasan: entah karena kusta, pelacur, mereka yang tidak dikaruniai anak atau mandul.

Dengan demikian jelas bahwa Allah yang solider itu ditunjukkan melalui sikap Maria yang begitu perhatian terhadap situasi Elisabeth dan Zakaria yang sedang mengalami saat-saat sulit, karena mengandung dan juga karena hari tua mereka, juga situasi sulit karena status sosial mereka. Solidaritas Maria membuat Elisabet dan Zakaria merasa dihibur, diteguhkan, lebih dari itu dikembalikan harga diri dan martabat mereka. Mereka merasa disapa, merasa dimanusiakan.

Melalui sikap Maria, Allah mengajarkan kepada kita tentang sikap peduli, sikap solider terhadap yang lain, khususnya mereka yang begitu lemah dari antara kita. Kunjungan Maria, salam yang diberikan Maria kepada Elisabet adalah bentuk konkrit dari cinta yang dibuat Maria. Cinta Maria itu menjadi semacam pintu yang membukakan rahmat Allah dan harapan kepada Elisabeth, kepada mereka yang begitu membutuhkan, dan terlebih kepada dunia kita saat ini. Semoga hati kita peka akan undangan Tuhan itu, dan menjadi peduli serta solider terhadap kesulitan orang-orang di sekitar kita.