Kekuatan dari Pengampunan

Ulangan 26:16-19; Matius 5:43-48 
Hari ini, penginjil Matius mengingatkan saya akan kekuatan pengampunan dan belas kasih Alah. Allah itu begitu baik dan adil bagi orang benar maupun yang tidak benar, orang berdosa maupun orang yang saleh. Allah juga melihat setiap kebaikan kita dan mengajarkan kita untuk memberikan kebaikan itu kepada orang lain – bahkan kepada mereka yang membenci kita, bahkan bagi mereka yang tidak tahu berterima kasih dan egois. Bila itu dapat kita lakukan, pada saat itu juga kita menampakkan kebaikan dan rahmat, seperti yang Allah tunjukkan kepada kita. 

Rasanya lebih mudah untuk menunjukkan kesalahan dan keburukan orang lain. Agak susah menunjukkan kebaikan dan kemurahan hati. Ampuni saya Tuhan yang mudah menunjuk kekurangan sesama, sering menyakiti, memusuhi dan kurang tahu berterimakasih. Ajariku untuk selalu berdoa bagi mereka yang menyakiti saya. Ajariku untuk memaafkan dan mengampuni kesalahan sesama, dan tidak melkukan balas dendam. Beri hatiku kekuatan kasih itu menjadi daya untuk dapat berbuat baik dalam menghadapi kejahatan. Terlebih kekuatan kasih untuk dapat mengasihi orang-orang yang memusuhihiku.

Bagi Allah, dengan Allah, segala sesuatu mungkin. Dia memberikan kekuatan dan rahmat yang dibutuhkan orang-orang yang percaya dan menerima karunia Roh Kudus. Kasih Allah mengalahkan segalanya, bahkan rasa sakit hati, ketakutan, prasangka dan duka kita. Salib Yesus Kristus telah lebih dahulu mengalahkan kematian. Dengan salib Yesus pula dapat membebaskan kita dari ikatan kedengkian, dendam, dan kebencian dan memberi kita keberanian untuk membalas kejahatan dengan kebaikan.

Di akhir pekan ini, saya juga diajak oleh penulis Kitab Ulangan melalui Musa yang berbicara kepada Bangsa Israel untuk mengingat kembali tentang Perjanjian Allah dan Manusia. Dan saya percaya bahwa semua kebaikan Allah yang saya alami mendorong hati saya menyambut uluran tangan Allah yang menghendaki hidup bersamaNya. Saya diingatkan bahwa janji Allah yang tidak pernah terbatalkan menjadi alasan saya untuk percaya bahwa Allah akan memegang janji Nya.

Tak lupa saya juga berterimakasih dan bersyukur atas pengalaman selama settimana convivenza. Ada begitu banyak pengalaman berharga yang kudapatkan: senso di fraternità nel gruppo asiatico, anche in solidarietà con altri gruppi; lo spirito di condividere della diversità, etc.

Tuhan ajariku untuk menjadi pribadi yang sederhana, sabar, mengampuni, mengasihi; seperti Engkau sendiri yang selalu mengasihiku.

Yesus Berubah Rupa

Kej 22:1-2.9a.10-13.15-18
Rm 8:31-34 
Mrk 9:2-10

Minggu yang lalu, Sabda Tuhan mengundang kita untuk memberikan perhatian pada kuasa sakramen pembaptisan yang telah kita terima. Kuasa pembaptisan itu membuat kita mampu menolak kuasa jahat/iblis yang selalu menggoda kita. Hari ini, Sabda Tuhan mengundang kita untuk memberikan perhatian tentang kurban. Kita akan belajar dari tiga tokoh Abraham, iman Paulus dan Yesus Sang Anak Tuggal Allah.

Kita tahu bagaimana teladan kerendahan hati dan ketaatan Abraham. Ia mendengarkan dan mentaati permintaan Allah untuk mengurbankan anaknya yang tunggal (Ishak), yang telah lama dinanti-nantikan. Ia pun membawa Ishak untuk dipersembahkan. Melihat iman Abraham, maka Allah melepaskan Ishak dan menggantinya dengan seekor domba jantan sebagai kurban. Iman Abraham inilah yang membuat dirinya menerima berkat melimpah dari Tuhan. Ia menjadi Bapa segala bangsa.

Iman Paulus memberikan kesaksian bahwa Allah tidak menyayangkan AnakNya sendiri. Bahkan Ia menyerahkan AnakNya yang tunggal Yesus untuk keselamatan semua orang dengan sengsara dan wafatNya di kayu Salib. Sikap Allah ini yang mendorong kita untuk senantiasa bertumbuh dalam iman, memiliki harapan yang kokoh, dan keberanian untuk memberi kesaksian tentang cinta kasih Allah kepada semua orang.

Melepas lelah di taman Villa Adriana
Seperti halnya penampakan Yesus kepada tiga murid: Petrus, Yohanes dan Yakobus. Dikisahkan bahwa Yesus membawa ketiga murid terpilih itu ke atas sebuah gunung yang tinggi. Kita tahu bahwa gunung menjadi simbol tempat Tuhan bersemayam. Di sana Yesus berubah rupa, wajahNya berkilau-kilauan dan pakaianNya sangat putih. Di sana juga tampak Musa sebagai penerima Taurat dan Elia seorang Nabi Besar yang naik ke langit dengan kereta berapi dan akan datang kembali. Tampak kepada para murid bahwa mereka sedang bercakap-cakap satu sama lain. Keterpesonaan dan sukacita Petrus mendorong dirinya untuk mendirikan kemah-kemah untuk Yesus, Musa dan Elia. Namun terdengarlah dari langit  suara: “Inilah AnakKu yang kekasih, Dengarkanlah Dia!” Suara ini mempertegas identitas Yesus sebagai Anak Tunggal Bapa. Dialah yang akan menderita untuk keselamatan semua orang.

Masa prapaskah, pertama-tama menjadi saat di mana setiap pribadi diajak untuk bertekun mendengarkan Yesus, Sang Sabda karena Dialah Putera Tunggal Allah. Dialah tanda kasih Allah di tengah-tengah kita. Sabda Tuhan mestinya menjadi santapan setiap hari bagi kita. Sabda Tuhan yang didengar itu jugalah yang dapat dibagi-bagi di dalam hidup kita. 

Yang kedua, setiap pribadi dari kita diajak untuk berani berkurban demi kebaikan dan kebahagiaan sesama. Karena Tuhan Allah sendiri berbagi dengan manusia. Ia sendiri mengurbankan AnakNya yang tunggal. Dan sampai saat ini, setiap kali kita merayakan Ekaristi, mestinya kita menyadari sebagai saat Tuhan berbagi hidup dengan kita. Dalam rupa Hosti Suci, Tubuh dan Darah Tuhan, Ia membiarkan diriNya diambil, dipecah-pecah dan dibagikan untuk kepuasan bagi semua orang.

Penampakan Yesus dalam kemuliaanNya dengan berubah rupa, mendorong kita juga untuk mampu berubah. Perubahan hidup yang radikal bagi Allah, yakni dalam semangat tobat atau metanoia dalam diri kita. Yesus berseru, "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil" (Mrk 1:15).

Tetap harus Ada yang Ditinggalkan

Markus 10:28-31
Hal mengikuti Yesus dibutuhkan sebuah keputusan. Setiap orang memiliki pengalamannya masing-masing dengan dinamika yang mewarnainya. Ada yang mengalami kesulitan untuk memutuskan menjadi Katolik, ada yang dengan mudah, ada yang ragu-ragu, ada pula yang setengah-setengah.

Kita bisa menyimak pengalaman Petrus, "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!" (Mrk 10,28). Mengikuti Yesus bagi Petrus berarti memutuskan untuk meninggalkan keluarga, pekerjaan dan mengikuti Yesus berkeliling kemana-mana.

di Piazza Navona, Roma
Ada nilai yang sangat tampak di situ: yakni nilai pengorbanan. Apakah kita juga harus mengambil keputusan seperti yang dibuat oleh Petrus? Keputusan yang kita ambil saat ini rasanya tidak harus seperti itu. Tetapi, memang harus ada yang kita tinggalkan: kemalasan, rasa iri, kegoisan, kebiasaan buruk yang menghalangi kita untuk mengikuti Yesus. Rasanya ini bisa jadi lebih sulit daripada meninggalkan pekerjaan kita.

Semua itu menjadi sulit karena telah menjadi kebiasaan yang mengikat kita. Mengapa mengikat? Karena kebiasaan-kebiasaan itu dibentuk oleh keinginan dan kehendak pribadi semata. Mengikuti Yesus berarti memutuskan untuk menyerahkan keinginan dan kehendak kita kepada Allah dan membiarkan keinginan dan kehendak Allah yang membentuk kebiasaan baru kita yang semakin takut akan Allah.

Mari kita penuhi undangan Tuhan untuk meninggalkan ha-hal yang menghalangi kita untuk berjumpa denganNya. Sehingga kita mengalami kebebasan sebagai anak-anak Allah.

Percayalah agar Tidak Merasa Cemas

Matius 6:24-34
Ketika itu, saat jeda waktu mengajar, saya menyempatkan diri untuk mencermati dinamika siswa-siswi di suatu sekolah taman kanak-kanak. Saya melihat mereka sedang bermain, berlari dan seterusnya. Ada suatu fenomena menarik dalam dinamika saling berbagi makanan ringan di antara mereka itu. Saya dapat mencermati bagaimana seorang anak merasa tidak cukup ketika diberi sedikit; ada juga yang merasa bingung ketika diberi banyak; ada pula yang masih protes ketika diberi cukup.

Lalu saya berpikir dan bertanya, tidakkah dinamika ini juga terjadi pada umumnya orang akhir-akhir ini? Jika demikian, rahmat Tuhan rasanya tidak cukup untuk setiap manusia. Bahkan mungkin ada saja orang yang sudah tidak percaya bahwa Tuhan itu Mahakasih, Mahabaik, Mahabesar; ketika hidupnya selalu diwarnai dengan kesulitan, rintangan, kegagalan.

Yesaya melukiskan situasi pembuangan bukan sebagai pengalaman menyenangkan. Sion yang berteriak bahwa Tuhan sudah lupa kepada mereka. Namun Tuhan menyatakan bahwa diriNya seperti seorang ibu yang tidak mungkin lupa kepada anak-anaknya. Bahkan seandainya pun ada ibu yang melupakan anak-anaknya, tapi Tuhan tidak (Yes 49:14-15).


Setiap orang tentu pernah merasa cemas, khawatir akan hidupnya? Orang merasa cemas dan khawatir akan hidupnya adalah wajar-wajar saja. Tetapi menjadi tidak wajar bila orang terlalu berpegang pada perasaan dan pikirannya sendiri. Orang lupa akan Allah yang selalu menjaga, memelihara dan mendampingi. Allah yang tidak pernah meninggalkan manusia seorang diri. 

Basilika Santuario SS.Annunziata, Firenze
Tuhan Yesus tahu bahwa manusia sering kuatir; kalau-kalau nanti tidak ada makanan, minuman dan pakaian dll (Matius 6,25). Penginjil mau mengatakan bahwa orang yang mengenal Allah, tahu bahwa sejatinya Allah mengetahui apa yang mereka butuhkan. Jadi untuk apa merasa kuatir? Sebaliknya, orang yang tidak mengenal Allah sering berpikir dan bertindak melampaui segala hal yang dipikirkan manusia atas hidup setiap harinya. Itulah yang membuat mereka dilingkupi kekuatiran. Yesus mengundang manusia untuk lebih mengenal Allah yang menjadi sumber hidup mereka.

Dalam ayat selanjutnya (Matius 6,26), Tuhan Yesus menguatkan lagi kepercayaan akan Allah Bapa di Sorga dengan jalan menunjuk kepada burung-burung. Tuhan Yesus di sini tidak mengajarkan supaya kita tidak bekerja, sebab burung-burung juga "bekerja" dalam mencari makanan. Yesus ingin mengajar kita agar tidak bergantung pada hal-hal yang duniawi, agar tidak mngandalkan kekuatan sendiri, melainkan bergantung pada Alah Bapa. Anda dan saya bukan Goliat. Maka janganlah jadi Goliath. Tetapi, jadilah Daud, yang lemah tapi kuat karena kuasa Allah.

Tuhan Yesus mau mengajak kita untuk menghilangkan kekuatiran dan kegelisahan kita dan menggantikan itu dengan kepercayaan.