Ogni giorno e momento della vita è l'ultima volta

1Gv 2,18-21; Gv 1,1-18

Oggi è l'ultimo giorno dell'anno 2013. L'apostolo Giovanni ci ricorda anche che non solo l'ultimo giorno dell'anno , ma ogni giorno e momento della vita è l'ultima volta ( 1 Gv 2:18 ). Ci sono molte cose che sono accadute e che abbiamo vissuto durante gli anni passeranno, le cose buone sono positivo o negativo, triste o felice, sia incontro o di perdita o di separazione. 
Allora, che cosa dobbiamo fare prima di entrare nel nuovo anno?
Parola di Dio oggi di aprire i nostri cuori, che Gesù è presente a noi come il verbo si fece carne e venne ad abitare in mezzo a noi, per illuminare la nostra vita, togliere i nostri peccati, e di lasciare ed entrare le virtù della sua vita divenne integrale in noi.

Quindi, dobbiamo essere grati per gli anni a passare, camminiamo per certo, entriamo nel nuovo anno con pieno di speranza, la convinzione che "Dio abita in mezzo a noi " e " in lui era la vita e la vita era la luce degli uomini ".

Preghiamo nei nostri cuori,
Grazie Signore per la tua provvidenza tutto l'anno che passerà presto. Guidaci a tua benignità nel nuovo anno più tardi .

Teladan Keluarga Kita

Pesta Keluarga Kudus ini menjadi momen yang tepat bagi suami dan isteri merenungkan kembali komitmen yang telah mereka ikrarkan, saling menghormati, saling mencintai dan setia dalam untung dan malang. Baik suami maupun isteri harus mengutamakan dialog dan mau memperbaharui komitmen demi keutuhan keluarga.

di halaman basilika S. Fransiskus Asisi, Juli 2013
Maria dan Yosef memberikan teladan yang setia melaksanakan komitmen di antara mereka, komitmen untuk memelihara Yesus, secara khusus komitmen untuk melaksanakan kehendak Allah. Komitmen-komitmen itutampak ketika mereka harus menyingkir ke Mesir untuk menyelamatkan Yesus. Dalam Matius 2:13 dikatakan, “Nampaklah malaikat Tuhan kepada Yosef dalam mimpi dan berkata, bangunlah dan bawalah anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari dan membunuh anak itu.”
Betapa tidak ringannya situasi yang dialami oleh Maria dan Yosef. Namun Mereka melaksanakan tugas itu dengan setia karena tanggungjawabnya sebagai orang tua, karena tanggung jawabnya akan keselamatan Yesus. Mereka setia dengan komitmen yang telah mereka ungkapkan walau banyak tantangan dan bahkan penderitaan. Rasa percaya kepada Allah menguatkan mereka.

parco pamphili, Roma
Kalau kita cermati, rasanya keluarga yang baik itu bukan berarti keluarga yang tanpa masalah dantantangan, adem ayem saja, semua berjalan normal. Keluarga yang baik ialah sebuah keluarga yang medasarkan hidupnya atas kehendak Allah. Sebuah keluarga yang menjadikan setiap tantangan dan masalah sebagai penguji sekaligus penguat cinta, janji dan komitmen mereka. Cinta selalu diuji setiap saat, komitmen selalu harus dimurnikan, dan janji itu juga selalu harus diperbarui. Umumnya semua itu terjadi mana kala keluarga mengedepankan dialog, komunikasi dan keterbukaan.

Yang dominan bukannya kata SAYA, KAMU apalagi KAU, melainkan KITA. Yesus mengatakan, “Karena itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, maka keduanya menjadi satu. Jadi mereka bukan lagi dua, melainkan satu”  (Mat 19:5-6).

Stefanus, ”Tuhan Yesus, terimalah rohku”

Pesta St. Stefanus, Mrt. Pertama
Kis. 6:8–10; 7:54–59; Mat. 10:17–22

 
Ketika Gereja dilanda dengan bertubi-tubi masalah, cemoohan, penghakiman dan bahkan pengusiran, serasa juga bertubi-tubi pula keluhan, mungkin juga ketakutan dan apatisisme: betapa berat menjadi pengikut Yesus. Dibutuhkan kekuatan untuk menghadapinya dan sanggup menanggung serta menerima konsekuensi oleh karena imanku kepadaNya.

pondasi rumah
St. Stefanus adalah martir gereja pertama yang patut kita teladani karena sikap imannya yang begitu kokoh, dan keberaniannya yang luar biasa meskipun harus menaggung derita dan kematian. Tuhan mengerjakan banyak mukjizat melalui tangan Stefanus dan menghantar banyak orang menjadi pengikut Kristus. Tetapi, para anggota Mahkamah Agama (yang memusuhi Gereja), sangat merasa berang dan geram, lalu bersekongkol untuk menghabisi Stefanus. Stefanus dituduh menghujat Allah.  Tanpa rasa takut pun Stefanus menghadapi dan tuduhan-tuduhan palsu terhadapnya, meski akhirnya diseret keluar kota untuk dirajam.

Di akhir hidupnya, ia menengadah ke langit, melihat kemuliaan Allah dan Yesus di sebelah kanan-Nya. Dengan penuh penyerahan diri ia berdoa: ”Tuhan Yesus, terimalah rohku”.

Kita terpanggil untuk juga menjadi martir Gereja seperti Stefanus, dengan berani mengakui iman pada Kristus meskipun dibenci orang karena kita percaya Tuhan akan mengirim perlindungan dan kekuatan kepada kita. Tuhan menganugerahkan semangat iman, harapan dan kasih juga agar kita mampu bertahan dalam kesulitan dan tantangan hidup kita sebagai murid-murid Kristus di tengah masyarakat. Semangat iman St. Stefanus menjadi semangat kita dalam mengimani Kristus.  

Memulai, Memelihara dan Membesarkan

Perikopa injil Matius (Mat 1:18-24) menampilkan sebuah tradisi mengenai kelahiran Yesus dari sudut pandang Yusuf. Bagi umat Matius dan umat awal, kelahiran Yesus itu jelas bukan kejadian yang biasa. Yesus dikandung dari Roh Kudus tetapi dilahirkan secara manusiawi oleh Maria dan dibesarkan oleh Yusuf. 
Letak tidak biasa-nya : …. kata-kata malaikat dalam mimpi Yusuf. ... juga ditambahkan, semua yang dikatakan malaikat itu menggenapkan nubuat nabi Yesaya 7:14 (Yes 7:10-14), bahwa seorang anak dara akan melahirkan anak lelaki yang dikenal dengan nama Imanuel, yang artinya "Tuhan menyertai kita". Kelahiran sang "Imanuel" - "Allah menyertai kita"..... Allah tidak lagi membiarkan manusia sendirian. Dan mulai saat itu kehadiran "Imanuel" memang menyertai manusia sepanjang zaman. Paulus dselalu menutup surat atau perjumpaannya dengan jemaat Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah Bapa kita dan dari Tuhan kita Yesus Kristus (Rm 1:1-7).
petani memulai dengan membajak tanah
Matius menekankan hadirnya daya ilahi "Maria mengandung dari Roh Kudus" (penerimaan utuh dari pihak Maria). Berhadapan dengan daya ilahi ini, Sikap dan Tindakan Yusuf ---- ia menerima karya ilahi yang tidak lumrah sekalipun dan tetap menghormatinya. Bahkan ia memeliharanya dengan penuh perhatian. Ia memikirkan kepentingan Maria, tidak hanya mau meninggalkannya begitu saja. Kemudian ia juga berani mendengarkan Yang Keramat yang mengubah rencananya sama sekali. Ia bersedia menjadi orang yang bertanggung jawab membesarkan Yesus. Dalam adat keluarga Yahudi, pendidikan seorang anak sejak tidak lagi menyusu ibunya hingga akil balig pada usia 12-13 tahun menjadi tanggung jawab bapa keluarga. Begitulah kebesaran hati Yusuf, kepekaannya, kematangan imannya ikut membentuk pribadi Yesus. Itulah ungkapan iman Yusuf yang paling nyata. 
Dengan demikian, kita sebagai pembaca Injil Matius diajak untuk mengerti bagaimana kelahiran Yesus dari sudut pandang Yusuf. Apa artinya menjadi anak yang dibesarkan oleh orang seperti Yusuf itu. Di sini menjadi jelas bahwa karya "Tuhan menyelamatkan umatNya" itu menjadi tepercaya justru karena memakai jalan manusiawi. Karya Roh Kudus, betul-betul bisa membawakan keselamatan bila tumbuh dan menjadi besar dalam lingkungan yang sungguh manusiawi.
Mendalami peristiwa kelahiran Yesus dalam terang Injil Matius itu merayakan kebesaran hati seorang manusia yang bukan saja memungkinkan karya Allah dapat mulai terjadi, tetapi juga yang memelihara dan membesarkannya. Orang beriman (kita) yang ingin maju menjadi pemerhati gerak-gerik Yang Ilahi tentu dapat belajar banyak dari Yusuf.

Akhirnya

Kalau hari ini kita masuk Minggu Adven IV, di mana suasana menyongsong pesta Natal sudah terasa. Hiasan Natal terlihat di mana-mana. Mungkin ada saling berkirim kartu dan pesan Natal. Pertanyaannya : Apakah kita seperti umatnya Matius, dengan peristiwa kelahiran Yesus atau Natal, kita sampai pada keyakinan atau mendalami makna kehadiran Kristus di tengah-tengah umat manusia? Emanuel - Allah yang beserta kita itu? Emanuel - seperti yang dialami oleh Yusuf itu? Membiarkan karya Allah mulai terjadi, memelihara dan membesarkannya?