Sikap TEGAS dan SIAP BERKORBAN


Za. 2:1-5,10-11a; Luk. 9:43b-45

Bila kita mencermati hidup kita masing-masing, harus diakui bahwa, kita sering takut memanggul salib, menanggung penderitaan. Entah itu pengorbanan, rasa sakit karena dihina, dicemooh dan dituduh melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Tak jarang juga terjadi kemunafikan yang ingin menutupi kekurangan dalam hidup kita.

Ketika Yesus mengungkapkan keadaan diri-Nya yang akan mengalami penderitaan, tidak semua orang dapat mengerti dan menangkapnya. Apa yang diungkapkan oleh Yesus tentu saja bukan bermaksud untuk minta belas kasihan, namun Ia ingin menyadarkan semua orang bahwa jika hal itu terjadi mereka sudah tahu dan siap. Yesus sendiri menyadari akan konsekuensi pilihan-Nya untuk menyelamatkan manusia.


Sikap Yesus yang tegas dan tanpa kompromi terhadap pilihan hidup demi penyelatan manusia itu ternyata tidak disambut baik. Bagi Yesus bahwa untuk sebuah kebenaran dan kebaikan, Ia siap berkorban. Tentu saja korban yang akan mendatangkan hidup baru dan keselamatan. Sikap siap berkorban dan memberikan diri bagi keselamatan orang lain, saat ini menjadi hal yang tidak mudah. Maka inilah panggilan kita yang mengikuti Yesus. Kepada kita Yesus mewariskan SIKAP yang TEGAS dan SIAP BERKORBAN.

“Aku terbakar habis oleh kasih kepada Tuhan dan oleh kasih kepada sesamaku”

Hag 2:1b-10; Luk 9:18-22
St Padre Pio dilahirkan tahun 1887, anak kelima dari delapan bersaudara, dari keluarga petani Grazio Forgione dan Maria Giuseppa De Nunzio. Ia dianugerahi penglihatan-penglihatan sejak usia lima tahun, dan sejak usia dini telah memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi Tuhan. Padre Pio masuk biara Kapusin Fransiskan tahun 1903 dan ditahbiskan sebagai imam tahun 1910. Katanya, “Aku terbakar habis oleh kasih kepada Tuhan dan oleh kasih kepada sesamaku.”
Pada tanggal 5 Agustus 1918, Padre Pio mendapat penglihatan: ia merasa dirinya ditikam dengan sebilah tombak; sesudahnya luka akibat tikaman tombak itu tinggal pada tubuhnya. Kemudian, pada tanggal 20 September 1918, saat ia memanjatkan syukur sesudah perayaan Misa, ia juga menerima luka-luka Tuhan kita di kedua kaki dan tangannya. Setiap hari, Padre Pio kehilangan sekitar satu cangkir darah; luka-luka itu tidak pernah menutup ataupun bertambah parah. Pula, bukannya bau darah, melainkan bau harum yang semerbak terpancar dari luka-lukanya.
Sepanjang hidupnya, P. Pio memahami benar kedahsyatan sengsara Juruselamat. Walau demikian, Padre Pio mengatakan, “Aku ini hanyalah suatu alat dalam tangan Tuhan. Aku berguna hanya jika dikendalikan oleh Penggerak Ilahi.” Stigmata tinggal dalam tubuh Padre Pio hingga akhir hayatnya. Paus Paulus VI berkata tentangnya, “Lihat, betapa masyhurnya dia, betapa seluruh dunia berkumpul sekelilingnya! Tetapi mengapa? Apakah mungkin karena ia seorang filsuf? Karena ia bijak? Karena ia cakap dalam pelayanan? Karena ia mempersembahkan Misa dengan rendah hati, mendengarkan pengakuan dosa dari fajar hingga gelap dan - tak mudah mengatakannya - ia adalah dia yang menyandang luka-luka Tuhan kita.”              
St Padre Pio, memahami secara mendalam sengsara Tuhan kita. Sementara stigmata mungkin membangkitkan rasa takjub kita, tanda itu sendiri dan mereka yang menderitanya hendaknya menjadi inspirasi bagi kita dalam mengejar persatuan yang lebih mesra dengan Tuhan kita, teristimewa dengan sering menerima Sakramen Tobat dan menyambut Ekaristi Kudus.
Padre Pio dinyatakan sebagai Venerabilis pada tanggal 18 September 1997 oleh Paus Yohanes Paulus II; pada tanggal 2 Mei 1999 dibeatifikasi; dan akhirnya dikanonisasi pada tanggal 16 Juni 2002 di Roma, oleh Paus yang sama. Gereja memaklumkan pesta liturgis St Padre Pio dari Pietrelcina dirayakan pada tanggal 23 September.

For Others

Hag 1:1-8; Luk 9:7-9

Egosentris – berfokus pada diri sendiri. Inilah yang menjadikan orang kadang dengan mudah mengatasnamakan demi kepentingan bersama atau orang banyak. Padahal fokusnya tetap apa yang akhirnya akan kudapatkan. Tak jarang bahwa pola seperti ini juga terjadi dalam relasi pribadi dengan Tuhan. Orang mengatasnamakan Tuhan untuk mengedepankan kepentingan pribadi.

Allah melalui Nabi Hagai memperingatkan bangsa Israel agar tidak menunda-nunda untuk membangun kembali rumah Tuhan, karena sibuk dengan kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga Bangsa Israel tidak mengalami situasi sulit dalam hidup mereka. Tuhan mestinya menjadi focus utama perhatian.

Membiarkan rumah Tuhan runtuh berarti membiarkan situasi diri kita kacau. Sebab diri kita menjadi bait Allah (1Kor3:16). Dalam bacaan Injil, Herodes sang raja yang korup, licik, opurtunis dan kejam itu pun berusaha untuk bertemu dengan Tuhan. Kita?

Memilih Berarti juga Meninggalkan

Ef. 4:1-7,11-13; Mat. 9:9-13
Matius Rasul, dalam Perjanjian Baru dikenal sebagai: anak Alfeus. Tiga Injil pertama menyebut sebagai PEMUNGUT CUKAI di pelabuhan Kapernaum. Markus memanggilnya LEWI anak Alfeus. Lukas memanggilnya LEWI. Dalam bahasa Ibrani kuno (Aram) – Anugerah Yahwe.Sebagai pemungut cukai, berarti Matius adalah orang penting, berpendidikan, pintar berhitung, bias berbahasa Aram dan Yunani. Ia meninggal di Etiopia sebagai Martir. 
Pilihan Yesus atas diri Matius untuk menjadi rasul adalah sebuah teka-teki pada zamanya. Pada abad pertama di Israel, para pemungut cukai tidak memiliki status dalam masyarakat Yahudi. Mereka dihina karena mereka bekerja untuk kekaisaran Roma.
Di sisi lain pilihan Matius atas diri Yesus juga sama penuh teka-tekinya. Perubahan dirinya yang secara mendadak, dari seorang pemungut cukai yang tidak patut dipercaya menjadi seorang murid yang penuh gairah tentunya mengejutkan setiap orang yang mengenalnya. Mengapa dia mau melepaskan pekerjaannya demi mengikuti seorang tukang kayu dari Nazaret yang menjadi seorang rabi? 
Keputusan Matius untuk meninggalkan segalanya memberikan petunjuk kepada kita mengapa Yesus memanggil dirinya. Yesus memandang ke dalam hati Matius dan melihat di hati itu adanya rasa haus dan lapar akan Allah. Ketika Matius memilih mengikuti Yesus, berarti ia harus meninggalkan pilihan yang lain, termasuk jaminan harta dan kekayaannya, juga keluarganya.