Untuk Apakah Kamu Pergi?


Itulah pertanyaan Yesus secara berulang-ulang sampai tiga kali kepada orang banyak (Luk 7:24-26) tentang Yohanes. Yesus mengajak orang banyak untuk mempertegas tujuan mereka atas penyelamat yang dirindukan.

Bagi kita, pertanyaan itu kiranya juga sangat relefan. "Untuk apakah kita pergi kepada Tuhan?" Sebagian besar dari kita tentu hendak mencari jawaban-jawaban menurut situasi hidup masing-masing: untuk mencari damai, ketenangan, kesembuhan, rejeki, jodoh dst.....

Setiap orang mempunyai harapan bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi dirinya. Bahkan ada yang mengharapkan lebih. Demikian pun orang banyak ketika mereka menyambut Yohanes Pembaptis.  Tetapi ketika melihat kenyataan bahwa yang diinginkan tidak sesuai dengan yang dipikirkan, maka sirnalah harapan itu. Hal itu tampak ketika Yohanes Pembaptis tampil dengan pakaian yang hanya terbuat dari kulit binatang, rumahnya di hutan pula dan makanannya ngengat madu, mulailah sirna harapan orang banyak itu.

Oleh sebab itu, jawaban yang mesti ada dan dihidupi atas pertanyaan untuk apakah kamu pergi kepada Tuhan adalah untuk mendengar perkataanNya dan untuk membuka hati padaNya serta untuk mengakui kebenaranNya. Karena demikian kasih setia Allah tidak akan berpaling dari hidup kita, sekalipun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoncang (Yes 54:10).

Bukan hanya PERCAYA

Dewasa ini, tak sedikit orang yang PERCAYA kepada Yesus, pada sabda, pengajaran dan karya-Nya. Namun apakah mereka MENGIMANI pribadi dan sabda, pengajaran dan karya-karyaNya?

Tak jarang orang yang mengikuti Yesus masih dengan penuh perhitungan (untung rugi, nyaman dan tidak nyaman). Oleh sebab itu, mari....kita belajar dari kedua orang buta dalam bacaan Injil hari ini (Mat 9:27-31). Betapa besar kerinduan hati dua orang buta dalam injil hari ini. Kerinduan itu tampak dalam keterbukaan dan kepercayaan mereka pada Yesus saat berseru minta bantuan. Mereka  mau mengikuti Yesus hingga ke rumah tempat Yesus singgah. Kesediaan mau ditolong oleh Yesus itu sungguh-sungguh tampak dalam diri mereka.

MENGIMANI Yesus berarti mengikuti Yesus tanpa perhitungan apa pun lagi. Seperti kedua orang buta itu,  membiarkan Yesus bekerja dalam diri mereka sepenuhnya tanpa ragu, sehingga mata mereka menjadi melek (terbuka). Dinamika beriman selanjutnya tampak dalam keputusan atau pilihan sikap dan tindakan mereka untuk memuliakan Yesus ke seluruh wilayah mereka, meski Yesus sesungguhnya melarang mereka.

Mari...kita MENGIMANI Yesus dengan tanpa ragu lagi, sehingga kita boleh merasakan perubahan dalam hidup kita yang selalu bersyukur dan memuliakan Tuhan.

Berdoa dan Bekerja menjadi bagian dari Dinamika Hidup Orang Beriman

Team Sepak Bola Seminari sedang berdoa sebelum bermain
"Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu, Tuhan! Tuhan!, akan masuk Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Allah" (Mat 7:21).

BERDOA dan BEKERJA dengan tulus, itulah yang diteladankan oleh Beato Dionisius dan Redemtus (biarawan dan martir), kedua tokoh iman yang kita peringati hari ini. Keduanya berasal dari dinas militer Portugis sebelum mereka memutuskan untuk menjadi pelayan Tuhan. Pilihan hidup Dionisius menjadi seorang imam dan Redemtus menjadi seorang burder merupakan suatu jawaban mereka atas Tuhan yang mengundang untuk melaksanakan kehendakNya. Keduanya adalah misionaris yang  menjadi martir di Indonesia, tepatnya disiksa dan dibunuh di Aceh.

Nabi Yesaya dalam bacaan I, berseru kepada Tuhan:
"Engkau menjaga orang yang teguh hatinya dengan damai sejahtera, sebab ia percaya kepadaMu".
Tuhan Yang Mahabelaskasih, murah hati, peduli pada setiap seruan umat-Nya juga meminta sikap agar tak sekadar berseru dengan bibir dan pikiran tetapi juga dengan hati; tak hanya membaca, mendengar, merenungkan sabda Tuhan, tetapi terutama mengamini dan melaksanakannya dalam hidup ini.

Maria Dikandung tanpa Noda

Itulah ajaran yang berkembang dalam tradidi conceptio virginalis (dikandungnya Yesus oleh Perawan). Tekanan pertama adalah Yesus dan bukan Maria, meski harus diakui bahwa ajaran ini menyebut sesuatu (keperawanan) tentang Maria.

Sebagai Perawan (Yun-Partheos) maria mengandung dan melahirkan (menjadi ibu) Yesus. Di sinilah letak keperawanan Maria. Mateus menyebut, Ketia Ibu Yesus bertunangan dengan Yusuf, ia kedapatan mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka berkumpul - secara resmi menikah (Mat 1:18).

Secara manusiawi, maria juga bergulat. Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku tidak (belum) mengenal laki-laki (Luk 1:34). Maria berpikir bahwa ia akan mendapatkan anak setelah meniukahnanti, dan bukan sekarang. maria melahirkan Yesus sebagai perawan, sebab manusia Yesus Kristus tidak mempunyai ayah manusia (secara biologis).

Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu (Luk 1:38). Itulah ungkapan kerelaan diri dan seluruh hidup matia. Ia mengiyakan maksud dan rencana Allah menjadi ibu perawan yang mengandung juru selamat. Keperawanan Maria dapat dikatakan sebagai akibat dari peranannya dalam rencana dan pelaksanaan penyelamatan Allah.

Dengan demikian Maria menjadi perawan, oleh karena dipilih untuk berperan sebagai ibu Sang Juru Selamat. Karena pilihan Allah itu, Maria mau menjadi partner, teman sekerja Allah sendiri. Maria tetap perawan sebelum melahirkan Yesus dan pada waktu melahirkan dan setelah melhirkan Yesus. Konsili Vatikan II, dalam Lumen Gentium 49 menegaskan bahwa kelahiran Yesus tudak merusak, tetapi menguduskan keperawanan Maria. Keperawanan maria itu bukan pertama-tama secra fisik, melainkansikap hati Maria (penyerahan total).

Dengan keperawanan Maria ini, kita percaya bahwa karya Keselamatan Allah bukan hasil pekerjaan manusia, melainkan melulu kehendak Allah.

Dia yang Tergantung

Di salah satu gereja di Eropa Utara, ada sebuah patung Yesus Kristus yang disalib, ukurannya tidak jauh berbeda dengan manusia pada umumnya. Biasanya orang berbondong-bondong datang secara khusus kesana untuk berdoa, berlutut dan menyembah, hampir dapat dikatakan halaman gereja penuh sesak seperti pasar.
Di dalam gereja itu ada seorang penjaga pintu, melihat Yesus yang setiap hari berada di atas kayu salib, harus menghadapi begitu banyak permintaan orang, ia pun merasa iba dan di dalam hati ia berharap bisa ikut memikul beban penderitaan Yesus Kristus.
Pada suatu hari, sang penjaga pintu pun berdoa menyatakan harapannya itu kepada Yesus. Di luar dugaan, ia mendengar sebuah suara yang mengatakan, "Baiklah! Aku akan turun menggantikan kamu sebagai penjaga pintu, dan kamu yang naik di atas salib itu, namun apapun yang kau dengar, janganlah mengucapkan sepatah kata pun."

Lalu, Yesus turun, dan penjaga itu naik ke atas, menjulurkan sepasang lengannya seperti Yesus yang dipaku diatas kayu salib. Orang-orang yang datang bersujud, tidak menaruh curiga sedikit pun. Si penjaga pintu itu berperan sesuai perjanjian sebelumnya, yaitu diam saja tidak boleh berbicara sambil mendengarkan isi hati orang-orang yang datang.

Orang yang datang tiada habisnya, permintaan mereka pun ada yang rasional dan ada juga yang tidak rasional, banyak sekali permintaan yang aneh-aneh. Namun, demikian, si penjaga pintu itu tetap bertahan untuk tidak bicara, karena harus menepati janji sebelumnya.

Pada suatu hari datanglah seorang saudagar kaya, setelah saudagar itu selesai berdoa, ternyata kantung uangnya tertinggal. Ia melihatnya dan ingin sekali memanggil saudagar itu kembali, namun terpaksa menahan diri untuk tidak ber bicara. Selanjutnya datanglah seorang miskin yang sudah 3 hari tidak makan, ia berdoa kepada Yesus agar dapat menolongnya melewati kesulitan hidup ini. Ketika hendak pulang ia menemukan kantung uang yang ditinggalkan oleh saudagar tadi, dan begitu dibuka, ternyata isinya uang dalam jumlah besar. Orang miskin itu pun kegirangan bukan main, "Yesus benar-benar baik, semua permintaanku dikabulkan!" dengan amat bersyukur ia lalu pergi.

Diatas kayu salib, "Yesus" ingin sekali memberitahunya, bahwa itu bukan miliknya. Namun karena sudah ada perjanjian, maka ia tetap menahan diri untuk tidak berbicara. Berikutnya, datanglah seorang pemuda yang akan berlayar ke tempat yang jauh. Ia datang memohon agar Yesus memberkati keselamatannya. Saat hendak meninggalkan gereja, saudagar kaya itu menerjang masuk dan langsung mencengkram kerah baju si pemuda, dan memaksa si pemuda itu mengembalikan uangnya. Si pemuda itu tidak mengerti keadaan yang sebenarnya, lalu keduanya saling bertengkar.

Di saat demikian, tiba-tiba dari atas kayu salib "Yesus" akhirnya angkat bicara. Setelah semua masalahnya jelas, saudagar kaya itu pun kemudian pergi mencari orang miskin itu, dan si pemuda yang akan berlayar pun bereggas pergi, karena khawatir akan ketinggalan kapal. Yesus yang asli kemudian muncul, menunjuk ke arah kayu salib itu sambil berkata, "TURUNLAH KAMU! Kamu tidak layak berada disana."

Penjaga itu berkata, "Aku telah mengatakan yang sebenarnya, dan menjernihkan persoalan serta memberikan keadilan, apakah salahku?" "Kamu itu tahu apa?", kata Yesus. "Saudagar kaya itu sama sekali tidak kekurangan uang, uang di dalam kantung bermaksud untuk dihambur-hamburkann ya. Namun bagi orang miskin, uang itu dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya sekeluarga. Yang paling kasihan adalah pemuda itu. Jika saudagar itu terus bertengkar dengan si pemuda sampai ia ketinggalan ka pal, maka si pemuda itu mungkin tidak akan kehilangan nyawanya.

Tapi sekarang kapal yang ditumpanginya sedang tenggelam di tengah laut." Ini kedengarannya seperti sebuah anekdot yang menggelikan, namun dibalik itu terkandung sebuah rahasia kehidupan...

Kita seringkali menganggap apa yang kita lakukan adalah yang paling baik, namun kenyataannya kadang justru bertentangan. Itu terjadi karena kita tidak mengetahui hubungan sebab-akibat dalam kehidupan ini. Kita harus percaya bahwa semua yang kita alami saat ini, baik itu keberuntungan maupun kemalangan, semuanya merupakan hasil pengaturan yang terbaik dari Tuhan buat kita, dengan begitu kita baru bisa bersyukur dalam keberuntungan dan kemalangan dan tetap bersuka cita.

Pelayanan dan Kredibilitas Paulus

Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai (1 Kor 4:1-2).

Pelayanan dan kredibilitas itu memiliki ikatan yang seharusnya tak terpisahkan. Seorang pemimpin yang baik mesyaratkan harus memiliki jiwa yang melayani dan dapat dipercaya. Orang yang dapat dipercaya berarti Orang yang kata-kata dan janjinya dapat dipegang (tidak mencla-mencle=Jawa). Seorang pemimpin yang dapat dipercaya, ia akan menjadi pemimpin yang dapat melayani dengan setia. Oleh sebab itu, seorang ”oportunis” kiranya akan mengalami kesulitan besar dan bisa jadi tidak mungkin akan menjadi pemimpin yang baik. Betapa pun cerdik, lincah dan lihainya ia bermanuver serta membaca arah angin! Sebab ia pasti bukan seorang pelayan yang setia.

Ujung-ujungnya yang dituntut adalah setia. Terdengar begitu sederhana. Namun dalam kenyataan, alangkah sulitnya mencari orang-orang khususnya, pemimpin-pemimpin yang setia itu. Kiranya masih amat up to date belajar dari pengalaman Kumbakarna, raksasa buruk rupa, dari Kerajaan Alengka. Sebagian besar orang memang tidak membenarkan dia, ketika ia berpihak pada kakaknya (Rahwana). Namun begitu, toh orang menghormati karakter yang melekat dalam dirinya. Ia seorang yang setia.

Fenomena yang ada akhir-akhir ini, kesetiaan sebagai salah satu unsur kepemimpinan yang paling vital dan fundamental ini justru paling jarang disebut-sebut orang. Lebih berbahayanya bahwa kesetiaan sudah dianggap tidak terlalu penting. Kalah penting dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya. Itulah situasi zaman yang serba pragmatis yang berlaku prinsip bahwa satu-satunya yang abadi hanyalah kepentingan.

Roh Pelayanan
Ada persoalan besar bila seorang pemimpin yang tanpa didasari jiwa kepelayanan dan roh kesetiaan. Ia memang seorang pemimpin. Bahkan seorang pemimpin besar, barangkali. Tetapi tak dapat dipungkiri sebagai pemimpin yang sangat mengerikan dan amat berbahaya.

Pernahkan Anda mendengar atau membaca kisah seorang yang mati disiksa di tahanan? Pasti amat mengerikan. Di Toulouse Perancis, kurang lebih pada tahun 1761, seorang bernama Jean Calas mati disiksa dalam tahanan. Tentu orang akan segera bertanya: Apa kesalahannya? Ia hidup di suatu masa, di sebuah tempat, di mana seorang yang berbeda agama harus serta-merta dicurigai. Ia hidup di sebuah negeri yang pernah terjadi suatu pembantaian orang-orang Protestan pada suatu malam. Peristiwa itu terkenal dengan nama ‘Malam Santo Bartolomeus’.

Lalu bagaimana kisah kematian Calas? Calas adalah seorang Protestan di kalangan masyarakat luas yang Katolik. Pada suatu hari seorang anak bunuh diri, mungkin karena gagal dalam usaha. Calas sedih dan cemas. Hukum setempat mengharuskan agar setiap yang bunuh diri harus diarak telanjang, dengan wajah telungkup, diseret di sepanjang jalan dan kemudian digantung. Calas pun ingin menyelamatkan jenazah anak itu. Ia mencari akal untuk menutup-nutupi sebab sebenarnya kematian anak muda itu. Isu yang beredar bahwa Calas lah yang membunuh anak itu, dengan alasan: si anak bermaksud masuk agama Katolik. Tak urung Calas pun ditangkap. Ia disiksa dan akhirnya mati.

Sementara di tahun 1765 ada seorang pemuda bernama La Barre dituduh merusak salib. Akibat dari ulahnya itu, ia dengan serta-merta disiksa. Akhirnya, karena tak tahan ia pun mengaku. Hukuman pun dijatuhkan. Kepala anak muda yang masih berusia 16 tahun itu dipenggal dan tubuhnya dilemparkan ke dalam api. Orang-orang yang melihat kejadian itu, ramai bertepuk tangan puas.

Sejak itu, Voltaire seorang penulis dan filsuf Perancis yang hidup semasa dengan peristiwa-peristiwa ini tampak murung tanpa sedikit senyuman. Risalah tentang toleransi pun dituliskannya. Disebarkannya pula beratus-ratus pamflet yang menentang institusi agama. ‘Kami yang mahatahu dan mahabenar’. Di balik demonstrasi itu tampak tak disadari bahwa mereka telah menggantikan Tuhan Yang Mahatahu dan Mahabenar menjadi ungkapan kesombongannya sendiri

Tentu orang akan mengatakan bahwa dialah seorang SAULUS, bukan seorang PAULUS. Sebagian orang mengenal dan mengakui, bahwa pemuda Saulus adalah seorang kader pemimpin yang amat menjanjikan. Ia memiliki daya intelektual serta tingkat kecerdasan yang lebih dari rata-rata. Apalagi, dipadu dengan latar-belakang pendidikannya di sebuah sekolah favorit (murid Gamaliel). Saulus juga seorang dengan komitmen religius yang betul-betul luar biasa.

Namun demikian Saulus juga seorang yang begitu yakin akan kebenarannya sendiri, sehingga ia jadi benci luar biasa kepada segala sesuatu yang berbeda. Berbeda, bagi Saulus, berarti sesat; murtad. Dan orang-orang semacam itu mesti dilenyapkan dari muka bumi. Tetapi Saulus berusaha membinasakan jemaat itu, dan ia memasuki rumah demi rumah, dan menyeret laki-laki dan perempuan ke luar, dan menyerahkan mereka untuk dimasukkan ke dalam penjara (Kis 8:3).

Setia sebagai Buah Pertobatan
Situasi menjadi berbalik setelah Yesus menjumpainya secara pribadi. Yesus membuat Saulus yang gagah perkasa itu lumpuh, buta, dan lemah tak berdaya. Inilah ”proses” tatkala Tuhan menghancurkan ”ego” yang berlebih-lebihan. Namun demikian, tak sedikit pun Tuhan mengurangi potensi, kapabilitas serta talenta Saulus yang luar biasa itu. Tuhan justru menambahkan sesuatu kepadanya. Sesuatu yang selama ini tidak dimiliki Saulus. Yesus menganugerahkan roh pelayanan.

Apa yang terjadi? Betapa drastis bedanya, yakni ketika roh pelayanan ditambahkan. Kebaruannya itulah ditandakan dengan nama Paulus. Saulus (lama) diburu oleh nafsu menghancurkan, membunuh dan menghabisi, maka Paulus (baru) adalah orang yang disemangati oleh kerinduan untuk membangun, menyelamatkan dan mengampuni. Kesaksian Paulus mengenai dirinya sendiri setelah dibentuk oleh Tuhan bahwa, Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan (menyelamatkan) sebanyak mungkin orang (1 Kor 9:19).

Hamba yang dimaksudkan Paulus bukan karena dipaksa atau terpaksa dan bukan sekadar untuk cari muka. Ia seorang pemimpin yang dengan sukarela dan sukacita menjadikan dirinya hamba yang bersedia menghamba. Oleh karena itu, pelayanannya tulus, tidak berpura-pura. Itulah kepemimpinannya otentik, bukan sandiwara. Itulah pelayanan yang dihidupi Paulus, sehingga ia menjadi seorang pemimpin yang kredibel.

Akhirnya, semoga Anda dapat menjadi seorang yang memiliki jiwa melayani dan dapat dipercaya, sehingga dunia semakin indah karena orang lain pun akan berbuat yang sama setelah merasakan pelayanan dan kredibilitas Anda.

Kesadaran Diri

Kita dapat belajar dari cara hidup orang Faris dan ahli Taurat, bahwa orang yang tidak membuka hatinya, tidak akan mampu menerima tanda apa pun (yang didengar, dilihat dan dibaca) yang diberikan kepadanya (Luk 11:29-23).
Kok bisa begitu? Karena orang itu tidak sungguh sadar dan tahu nilai atau manfaat apa yang dikerjakan.

Undangan Perjamuan Tuhan

Hari Minggu Biasa XXVIII, 9 Oktober 2011
Yes 25:6-10a; Flp 4:12-14.19-20; Mat 22:1-14

Panggilan untuk hidup bersatu dengan Allah dan berbahagian di akhir zaman, sering dilukiskan dalam Kitab Suci dengan suatu pesta (con: perkawinan), di mana semua orang DIUNDANG untuk datang.

Salah satu indikasi yang paling konkrit orang yang mengikuti pesta adalah bila orang itu mengenakan pakaian pesta. MENGAPA? Pakaian memberi bentuk kepada orang yang memakainya sehingga dapat dikenali. Demikian pun dengan pakaian pesta. Jika orang datang ke pesta dan tidak mengenakan pakaian pesta berarti datang TANPA SUNGGUH mau mengikuti pesta. Orang baru dapat dikatakan datang ikut perjamuan pesta bila memang mau menghadiri pesta itu, bukan untuk urusan lain. Datang tanpa pakaian yang cocok berarti tidak membiarkan diri dikenal sebagai yang datang untuk itu. Itulah yang dinamakan komitmen yang setengah-setengah atau dengan kata lain setengah hati.

Komitmen setengah-setengah ini kurang dapat menjadikan hidup orang menjadi bagian dari hidup dalam Kerajaan Surga. Kebalikannya, datang dengan mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa maksud atau tujuan lain. Yang bersangkutan akan DIKENALI sebagai orang yang hidupnya sedang BERUBAH dari yang ada di persimpangan jalan menjadi dia yang hidup dalam perjamuan.

Tuhan menawarkan kepada kita kasih-Nya yang menyelamatkan. Sebab itu, marilah kita membuka hati bagi tawaran keselamatan Tuhan itu.

Sikap TEGAS dan SIAP BERKORBAN


Za. 2:1-5,10-11a; Luk. 9:43b-45

Bila kita mencermati hidup kita masing-masing, harus diakui bahwa, kita sering takut memanggul salib, menanggung penderitaan. Entah itu pengorbanan, rasa sakit karena dihina, dicemooh dan dituduh melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Tak jarang juga terjadi kemunafikan yang ingin menutupi kekurangan dalam hidup kita.

Ketika Yesus mengungkapkan keadaan diri-Nya yang akan mengalami penderitaan, tidak semua orang dapat mengerti dan menangkapnya. Apa yang diungkapkan oleh Yesus tentu saja bukan bermaksud untuk minta belas kasihan, namun Ia ingin menyadarkan semua orang bahwa jika hal itu terjadi mereka sudah tahu dan siap. Yesus sendiri menyadari akan konsekuensi pilihan-Nya untuk menyelamatkan manusia.


Sikap Yesus yang tegas dan tanpa kompromi terhadap pilihan hidup demi penyelatan manusia itu ternyata tidak disambut baik. Bagi Yesus bahwa untuk sebuah kebenaran dan kebaikan, Ia siap berkorban. Tentu saja korban yang akan mendatangkan hidup baru dan keselamatan. Sikap siap berkorban dan memberikan diri bagi keselamatan orang lain, saat ini menjadi hal yang tidak mudah. Maka inilah panggilan kita yang mengikuti Yesus. Kepada kita Yesus mewariskan SIKAP yang TEGAS dan SIAP BERKORBAN.

“Aku terbakar habis oleh kasih kepada Tuhan dan oleh kasih kepada sesamaku”

Hag 2:1b-10; Luk 9:18-22
St Padre Pio dilahirkan tahun 1887, anak kelima dari delapan bersaudara, dari keluarga petani Grazio Forgione dan Maria Giuseppa De Nunzio. Ia dianugerahi penglihatan-penglihatan sejak usia lima tahun, dan sejak usia dini telah memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi Tuhan. Padre Pio masuk biara Kapusin Fransiskan tahun 1903 dan ditahbiskan sebagai imam tahun 1910. Katanya, “Aku terbakar habis oleh kasih kepada Tuhan dan oleh kasih kepada sesamaku.”
Pada tanggal 5 Agustus 1918, Padre Pio mendapat penglihatan: ia merasa dirinya ditikam dengan sebilah tombak; sesudahnya luka akibat tikaman tombak itu tinggal pada tubuhnya. Kemudian, pada tanggal 20 September 1918, saat ia memanjatkan syukur sesudah perayaan Misa, ia juga menerima luka-luka Tuhan kita di kedua kaki dan tangannya. Setiap hari, Padre Pio kehilangan sekitar satu cangkir darah; luka-luka itu tidak pernah menutup ataupun bertambah parah. Pula, bukannya bau darah, melainkan bau harum yang semerbak terpancar dari luka-lukanya.
Sepanjang hidupnya, P. Pio memahami benar kedahsyatan sengsara Juruselamat. Walau demikian, Padre Pio mengatakan, “Aku ini hanyalah suatu alat dalam tangan Tuhan. Aku berguna hanya jika dikendalikan oleh Penggerak Ilahi.” Stigmata tinggal dalam tubuh Padre Pio hingga akhir hayatnya. Paus Paulus VI berkata tentangnya, “Lihat, betapa masyhurnya dia, betapa seluruh dunia berkumpul sekelilingnya! Tetapi mengapa? Apakah mungkin karena ia seorang filsuf? Karena ia bijak? Karena ia cakap dalam pelayanan? Karena ia mempersembahkan Misa dengan rendah hati, mendengarkan pengakuan dosa dari fajar hingga gelap dan - tak mudah mengatakannya - ia adalah dia yang menyandang luka-luka Tuhan kita.”              
St Padre Pio, memahami secara mendalam sengsara Tuhan kita. Sementara stigmata mungkin membangkitkan rasa takjub kita, tanda itu sendiri dan mereka yang menderitanya hendaknya menjadi inspirasi bagi kita dalam mengejar persatuan yang lebih mesra dengan Tuhan kita, teristimewa dengan sering menerima Sakramen Tobat dan menyambut Ekaristi Kudus.
Padre Pio dinyatakan sebagai Venerabilis pada tanggal 18 September 1997 oleh Paus Yohanes Paulus II; pada tanggal 2 Mei 1999 dibeatifikasi; dan akhirnya dikanonisasi pada tanggal 16 Juni 2002 di Roma, oleh Paus yang sama. Gereja memaklumkan pesta liturgis St Padre Pio dari Pietrelcina dirayakan pada tanggal 23 September.

For Others

Hag 1:1-8; Luk 9:7-9

Egosentris – berfokus pada diri sendiri. Inilah yang menjadikan orang kadang dengan mudah mengatasnamakan demi kepentingan bersama atau orang banyak. Padahal fokusnya tetap apa yang akhirnya akan kudapatkan. Tak jarang bahwa pola seperti ini juga terjadi dalam relasi pribadi dengan Tuhan. Orang mengatasnamakan Tuhan untuk mengedepankan kepentingan pribadi.

Allah melalui Nabi Hagai memperingatkan bangsa Israel agar tidak menunda-nunda untuk membangun kembali rumah Tuhan, karena sibuk dengan kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga Bangsa Israel tidak mengalami situasi sulit dalam hidup mereka. Tuhan mestinya menjadi focus utama perhatian.

Membiarkan rumah Tuhan runtuh berarti membiarkan situasi diri kita kacau. Sebab diri kita menjadi bait Allah (1Kor3:16). Dalam bacaan Injil, Herodes sang raja yang korup, licik, opurtunis dan kejam itu pun berusaha untuk bertemu dengan Tuhan. Kita?

Memilih Berarti juga Meninggalkan

Ef. 4:1-7,11-13; Mat. 9:9-13
Matius Rasul, dalam Perjanjian Baru dikenal sebagai: anak Alfeus. Tiga Injil pertama menyebut sebagai PEMUNGUT CUKAI di pelabuhan Kapernaum. Markus memanggilnya LEWI anak Alfeus. Lukas memanggilnya LEWI. Dalam bahasa Ibrani kuno (Aram) – Anugerah Yahwe.Sebagai pemungut cukai, berarti Matius adalah orang penting, berpendidikan, pintar berhitung, bias berbahasa Aram dan Yunani. Ia meninggal di Etiopia sebagai Martir. 
Pilihan Yesus atas diri Matius untuk menjadi rasul adalah sebuah teka-teki pada zamanya. Pada abad pertama di Israel, para pemungut cukai tidak memiliki status dalam masyarakat Yahudi. Mereka dihina karena mereka bekerja untuk kekaisaran Roma.
Di sisi lain pilihan Matius atas diri Yesus juga sama penuh teka-tekinya. Perubahan dirinya yang secara mendadak, dari seorang pemungut cukai yang tidak patut dipercaya menjadi seorang murid yang penuh gairah tentunya mengejutkan setiap orang yang mengenalnya. Mengapa dia mau melepaskan pekerjaannya demi mengikuti seorang tukang kayu dari Nazaret yang menjadi seorang rabi? 
Keputusan Matius untuk meninggalkan segalanya memberikan petunjuk kepada kita mengapa Yesus memanggil dirinya. Yesus memandang ke dalam hati Matius dan melihat di hati itu adanya rasa haus dan lapar akan Allah. Ketika Matius memilih mengikuti Yesus, berarti ia harus meninggalkan pilihan yang lain, termasuk jaminan harta dan kekayaannya, juga keluarganya. 

Jalan Keheningan

Pesta St. Bernardus

Rut. 2:1-3,8-11;4:13-17; Mat. 23:1-12

Bersama dengan seluruh Gereja kita memperingati St. Bernardus seorang Abas dan Pujangga Gereja. Ia lahir pada tahun 1090 di Perancis. Ia sangat denkat dengan ibunya. Oleh sebab itu, sepeninggal ibunya, Bernardus menjalani gaya hidup yang tidak teratur selama beberapa tahun. Namun kemudian ia bersama teman-temannya masuk biara pertapaan. Walaupun ditentang oleh keluarganya, ia tetap pada pendiriannya. Ia menjadi seorang yang saleh dalam pertapaan. Bahkan karena kesalehannya, ia ditugaskan untuk mendirikan sebuah biara pertapaan baru. Biara itu diberinya nama pertapaan Clairvaux. Ia dikenal sebagai seorang pewarta, pembawa damai dan penggerak kebenaran. Ia meninggal tahun 1153.

Bernardus menyadari betul bahwa orang bisa jatuh dalam dosa dan dalam perilaku yang hanya mementingkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi dan Ahli Taurat. Hidup kita malah menjadi beban bagi orang lain.

Apa yang kita lakukan bukan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain, tetapi justru membawa penderitaan dan kehancuran mereka. Kalau kita jatuh dalam kehidupan yang semacam itu, tidak usah takut.Belas kasih Allah tetap mengalir. Seperti dialami oleh Bernardus sendiri, Allah bekerja tepat pada waktunya. Kasih Allah menariknya kembali dari jurang dosa. Kasih Allah membuatnya berbalik pada Allah.