Meninggalkan Segala Sesuatu untuk Mengikuti Yesus

Kebijaksanaan 7:7-11; Ibrani 4:12-13; Markus 10:17-27

Siapapun orangnya pasti tidak menolak jika ditawari menjadi orang kaya. Demikian pun saya. Realita sekarang ini, bahkan ada banyak pengajaran yang diam-diam atau terang-terangan menyamakan bahwa menjadi kaya sama dengan kehidupannya diperkenankan Tuhan.

Mengapa? tampaknya Tuhan lebih berpihak kepada orang miskin daripada orang kaya. Meski, Abraham, Ishak, Boas, Daud, Salomo, Ayub, dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya adalah orang-orang kaya. Bahkan, Yesus pun memilih menjadi orang miskin, dari sekian banyak pilihan hidup di bumi, demi menyelamatkan umat manusia. Kedatangan-Nya di dunia pun demi mengabarkan berita kesukaan kepada orang miskin (Lukas 4:18). Janda miskin lebih dipuji daripada orang kaya yang memberi persembahan (Markus 12:41-44). Bahkan orang miskin dianggap sebagai pewaris takhta Kerajaan Allah bersama-sama orang-orang yang mengasihi Dia (Yakobus 2:5).

Tampaknya ada rahasia di balik orang-orang miskin. Mengapa mereka disebut sebagai orang berbahagia (Lukas 6:20)? Tetapi, mengapa orang kaya tidak mendapat keistimewaan itu? Bahkan seorang kaya yang ingin mengikut Yesus pun diminta-Nya membagikan seluruh kekayaannya kepada orang miskin – yang berarti ia tidak berharta lagi, baru boleh menjadi pengikut-Nya – padahal kehidupan rohaninya nyata-nyata lebih bagus daripada kebanyakan kita (Markus 10:17-27)?

Ini tidak bermaksud sinis terhadap kekayaan dan kepada orang kaya. Kitab Amsal mengatakan, “Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku” (Amsal 30:8). “Sebab si miskin pun ada kemungkinan mencuri dan mencemarkan nama Allah,” tuturnya kemudian.

Dalam injil Luk 10:25-37 juga Injil hari ini mengundang suatu pertanyaan yang sama : Apakah yang harus kulakukan untuk memperoleh hidup kekal? Lukas : mengasihi Allah dan sesama. Reaksi berikutnya: siapakah sesamaku? Yesus menenkankan bukan objeknya tetapi subjeknya. Bagi Yesus yang tepat bertanya: bagaimanakah aku bisa menjadi sesama bagi yang lain.

Markus: bukan sekedar menuruti hukum taurat yang ada, melainkan pergi dan menjual apa yang dimiliki dan memberikan itu kepada orang-orang miskin. Reaksi sedih sekali karena banyaklah hartanya. Jika demikian, siapakah yang dapat masuk Kerajaan Allah? Lalu Yesus berkata kepada murid-muridNya. “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

Itulah reaksi para murid Yesus saat itu dan pertanyaan kita saat ini. Yang dapat masuk Kerajaan Allah adalah orang yang memiliki sikap lepas bebas dari segala ikatan tanah milik, barang, uang, dan orang untuk dapat mengarahkan hidup pada Kristus.

Monika Hellwig menuliskan keuntungan menjadi orang miskin (Bukan Yesus yang Saya Kenal – Philip Yancey):
  1. Orang miskin tahu bahwa dirinya sangat membutuhkan penebusan.
  2. Orang miskin bukan saja tahu bahwa dirinya tergantung pada Tuhan dan orang yang berkuasa, tetapi mereka saling tergantung satu sama lain.
  3. Orang miskin bukan menggantungkan rasa amannya pada harta benda, tetapi pada manusia.
  4. Orang miskin tidak merasa dirinya keterlaluan penting dan tidak mempunyai kebutuhan berlebihan akan privacy.
  5. Orang miskin tidak terlalu mengandalkan persaingan, tetapi mengandalkan kerja sama.
  6. Orang miskin bisa membedakan antara kebutuhan dan kemewahan.
  7. Orang miskin bisa menunggu, mereka telah memperoleh sejenis kesabaran panjang yang lahir dari kesadaran akan ketergantungan.
  8. Ketakutan orang miskin lebih realistis dan tidak begitu dibesar-besarkan karena mereka tahu seseorang bisa bertahan hidup menghadapi penderitaan besar dan kekurangan.
  9. Bila orang miskin mendengar Injil, itu kedengaran seperti kabar baik, bukan seperti ancaman atau teguran.
  10. Orang miskin bisa menerima panggilan Injil untuk meninggalkan segalanya dengan totalitas penuh karena mereka akan kehilangan sedikit dan siap untuk menerima apa saja.

Memang harus diakui, ikatan yang paling sulit dilepaskan manusia untuk mengikuti Yesus adalah harta benda. Karena memiliki uang maka orang dapat beli narkoba dan menghancurkan hidupnya. Karena memiliki banyak uang maka orang bisa main perempuan, berjudi, dan mabuk-mabukan. Bahkan karena harta warisan, orang tua dan saudara sekandung saja, rela dianiaya bahkan dibunuh. Akibatnya mereka sulit untuk menghayati perutusan kemuridan untuk mencintai Allah dan sesama.

Maka benarlah sabda Yesus “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.”Orang yang memiliki sikap lepas bebas adalah orang yang memiliki kebijaksanaan berkata “cukup.” Artinya berani berkata “cukup” atas keperluan tanah milik, barang, uang, dan orang demi mengarahkan hidupnya kepada Kristus. Karena kita ini, tidak akan pernah puas akan harta milik.

Salalu Melihat Kebaikan

Yer 31:7-9; Ibr 5:1-6; Markus 10:46-52

Apa tandanya kalau orang itu buta? TIDAK MELIHAT. Mengapa orang bisa buta? Yohanes menyebut salah satunya bahwa orang bisa buta sejak lahir (Yoh 9:1). Ada juga berawal dari berkurang penglihatannya karena usia lanjut (Ishak dalam Kej 27:1; Eli dalam 1Sam 3:2; Ahia dalam 1Raj 14:4)....dst. Lalu, apa yang paling dirasakan oleh orang yang matanya buta? Dan apa yang mereka inginkan?

Keinginan terbesar orang yang buta adalah BISA MELIHAT. Orang yang buta selalu menginginkan suatu PERUBAHAN, yakni dari tidak melihat menjadi bisa melihat.

Sebuah kisah begini:
Ada seorang buta yang hidup sendiri di pinggir sebuah desa. Baginya tiada beda siang atau malam, jika ia menuju ke suatu tempat. Sampai suatu ketika saat sedang berjalan dalam gelap, dia tertabrak oleh seseorang yang sedang berdiri di tepi jalan. Orang tersebut menegur, katanya “Mas, kalau jalan malam itu mbok yaa membawa lentera atau senter, biar orang tahu kalau Mas lewat. Jadi bisa dikasih jalan”. Wah teguran itu menimbulkan inspirasi baru …, sehingga di benak orang buta itu terpikir, “Berarti mulai saat ini saya mesti membawa lentera/ senter kalau jalan malam”.

Pada malam berikutnya, dengan perasaan mantab dan percaya diri dia berjalan dengan membawa senter dengan harapan tidak tertabrak orang lagi.
“… wealaah kok ya tertabrak lagi .. orang yang sama juga, dan di tempat yang sama“. Orang itu kembali menegur, “Piye tah mas, sudah dibilang bawa senter kok nggak nurut sih”.
Orang buta itu mulai tampak tersinggung … “apa sampeyan buta.... sampeyan tidak lihat ta, ada senter ditangganku”, sambil sedikit marah menunjukan senternya. Yaaaahhh ternyata, senter itu tidak dihidupkan. ....dst.

Saudari dan saudaraku, betapa sedih dan menderitanya si buta dalam kisah itu. Tentu Anda yang membaca renungan ini tidak buta, minimal belum buta, karena bisa melihat tulisan ini lalu membacanya. Tetapi pertanyaannya: Apa jadinya bila yang buta adalah mata hati Anda, atau juga mata hati saya? Mari kita bertanya diri. Kadang dalam realitanya, orang, kita cenderung memilih untuk “membuta” walau dapat melihat.
Kebutaan hati juga menunjuk pada kegelapan batin, tidak mampu melihat kebaikan orang lain, biasanya tampak keangkuhan, kebebalan (orang menjadi tidak peka) dan kedengkian. Ia menjadi acuh dan kurang peduli pada sesama dan lingkungannya.

Saudari dan saudaraku, kita mengenal sosok Bartimeus dalam Injil. Ia adalah salah seorang buta yang menghendaki perubahan dalam hidupnya. Ada 3 langkah radikal yang dilakukan, yaitu:
1. Ia berseru dengan semangat yang berkobar (ay 47-48).
Paulus menggunakan istilah biarlah rohmu menyala-nyala (Rm 12,11). Memanggil dengan berseru apalagi makin keras berseru di saat dihalangi menggambarkan kesungguhan hatinya untuk bertemu dengan Kristus. Pemazmur juga menyatakan “serukanlah namaNya” (Maz 105:1). Orang harus menunjukkan kesungguhan hati sebagai tanda kerinduan untuk mengalami perubahan, yaitu: lebih akrab dengan Dia. Dalam Yer 31:7-9, kobarkanlah, pujilah dan katakanlah bahwa Tuhan telah menyelamatkan umatnya....

2. Ia mendengar dan melakukan perintahNya (ay 49-50)
Bartimeus berhenti berseru di saat ia mendengarkan suara Tuhan dan merespon panggilan tersebut dengan segera tanpa menunda. Yang menarik, sebelum ia bertemu dengan Tuhan, Ia menanggalkan jubahnya, jubah sebagai simbol sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Dengan iman ia “menanggalkan manusia lama…. dan mengenakan manusia baru…” (Kol 3:10). Dengan iman ia melakukan perintahNya!

3. Ia menerima mujizat dan mengikuti Tuhan (ay 51-52)
Tuhan Yesus bertanya dan Bartimeus meminta apa yang menjadi keinginannya, yaitu: dipulihkan dengan perubahan yang lebih baik. Mujizat terjadi dan Bartimeus mengalami perubahan hidup. Kuasa Tuhan nyata dan telah menyelamatkannya. Bartimeus melihat dan ia bersyukur dengan tindakan yang ia kemudian lakukan yaitu penyerahan diri, “mengikuti Yesus” (ay 52). Menjadi pengikut Kristus dan “wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1 Yoh 2:6). Yesus Kristus sebagai imam agungnya (Ibr 5:1-6.

Saudari dan saudaraku, Bartimeus yang buta matanya mengajar kita untuk tidak menjadikan mata hati kita juga buta. Maka marilah mensyukuri kebaikan Allah dalam hidup kita, karena kita bisa melihat dengan baik, pun bisa melihat kebaikan sesama dan lingkungan kita, pun bisa mengusahakan lebih baik dari apa yang sudah baik.

Tuhan menyertai niat-niat baik kita. Amin.

Yesus Kristus Raja Alam Semesta (tahun B)

Hari ini Tahun Liturgi Gereja berakhir dan kita akan masuk Tahun Baru Liturgi yaitu Masa Advent. Pada hari Minggu penutup Tahun Liturgi Gereja ini, kita semua diajak untuk merenungkan bahwa Yesus, yang hidup, sengasara dan wafat itu benar bangkit atau hidup kembali dan menjadi Raja atas maut dan atas semua diciptakan Bapa-Nya dalam alam semesta ini. Gereja menetapkan sebagai perayaan Yesus Kristus Raja Semesta Alam.
Jika kita mencermati, di atas kepala-Nya kita melihat tulisan INRI yang ditulis Pontius Pilatus: "Iesus Nazarenus Rex Iudeorum "artinya "Yesus dari Nazareth Raja Orang Yahudi". Sungguh sejak Ia memasuki kota Yerusalem dengan menunggangi seekor keledai, bukan kudan jantan yang perkasa. Ia sudah disambut sebagai Raja.
Bac Injil (Yoh 18:33b-37), ada dialog antara Pilatus dan Yesus. Makna sebutan RAJA untuk Kristus sama sekali berbeda dari makna seperti yang dimaksudkan Pilatus, yakni raja dengan istana yang megah dengan beribu-ribu prajurit dst. Yesus mengatakan bahwa KerajaanKu bukan dari dunia ini. Kristus sebagai raja à memberikan kesaksian tentang kebenaran, membawa damai sejahtera kepada umat manusia melalui darahNya. Penyaliban Yesus dalam Yohanes dimaknai sebagai pemuliaan atau peninggian sebagai raja.
Bac I (Daniel 7:13-14), kekuasaanNya kekal adanya dan kerajaanNya takkan binasa. Iman Kristiani, mengimani dan mengamini bahwa Yesus datang bukan sekedar untuk membebaskan dari penindasan bangsa Romawi, melainkan untuk membebaskan semua bangsa (Yahudi dan bukan Yahudi), datang untuk membebaskan mereka dari dosa dan kematian.
Bac II (Wahyu 1:5-8), Dia yang mengasihi kita dan yang melepaskan kita dari dosa oleh darahNya dan yang membuat kita menjadi suatu kerajaan. Dengan demikian, Dia adalah raja alam semesta, tidak berkuasa di kerajaan duniawi namun kerajaan yang akan datang. KerajaanNya menembus hati manusia.

Hari raya ini ditetapkan oleh Paus Pius XI pada tanggal 11 Desember 1925 dalam ensiklik “Quas Primas”. Pertama-tama yang menjadi latar belakang penetapan itu adalah
1. Tumbuhnya kekuatan kediktatoran di Eropa.
2. Gereja (orang-orang Katolik) dikuasai oleh para pemimpin duniawi ini.
3. Saat itu penghormatan kepada Kristus dan Gereja mulai memudar.

Oleh sebab itu, dengan penetapan Hari raya ini diharapkan akan menumbuhkan berbagai dampak, a.l:
1. Negara-negara akan melihat bahwa Gereja mempunyai hak untuk memiliki kebebasan dan tidak bisa diintervensi negara.
2. Bahwa para pemimpin dan negara akan melihat bahwa mereka juga harus menghormati Kristus
3. Bahwa orang beriman akan mendapatkan kekuatan dan keberanian dari perayaan ini dan diingatkan bahwa Kristus haruslah merajai hati, pikiran, kehendak dan tubuh kita.
Lalu, Apa Relevansinya untuk kita di zaman sekarang ini?
Pada zaman sekarang ini, ketidakpercayaan yang sama akan “otoritas” juga masih ada, bahkan permasalahannya makin buruk. Individualisme makin ekstrim, sehingga banyak orang, hanya mengakui bahwa satu-satunya otoritas yang berkuasa hanyalah diri mereka sendiri. Maka tumbuhlah generasi “egois” semuanya tentang “aku”. Keinginan dan kehendakku menjadi yang utama dalam segala situasi. Otoritas Kristus sebagai penguasa ditolak oleh sistem individualisme yang begitu kuat.