Banyak-banyaklah Memberi

Banyak-banyaklah memberi... Itulah seruan yang selalu dikatakan oleh seorang kepala sekolah SD Muhamadiyah Bontang dalam film 'Laskar Pelangi'.
Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk senantiasa memberi. Sikap dan disposisi ini jelas diteladankan oleh Yesus dalam mujizat penggandaan roti yang dibuatNya.
Ketika orang memberi dan memberi, ia akan terdorong untuk berusaha dengan tekun dan bersemangat. Inilah salah satu langkah bagaimana orang menghargai hidupnya.

Antara Iman dan Cinta

Kisah kebangkitan dalam Injil Markus mencakup dua tema, yakni iman dan cinta. Agar bisa memercayai peristiwa kebangkitan, pertama-tama kita membutuhkan iman karena kebangkitan adalah suatu misteri. Kita tahu, misteri sering diartikan sebagai suatu teka-teki yang sulit dijelaskan, sesuatu yang mendatangkan rasa heran, yang membuat seseorang berdiri terpaku di hadapannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Dalam peristiwa kebangkitan, kita juga mengalami sebuah misteri. Kebangkitan itu hanya dapat dipahami dalam konteks iman karena tak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa membantu kita untuk memahami kebangkitan seonggok tubuh yang telah kehilangan nyawa. Kesedihan serta keputusasaan yang dibawa oleh kematian, kini telah diatasi oleh suatu janji akan kehidupan kekal, dan ini hanya dapat dipahami lewat iman.

Tema yang kedua adalah cinta. Cinta memberi mereka sebuah keterangan. Tetapi sebenarnya hendak memberi mata yang bisa melihat tanda misteri dan percaya. Cinta mampu menangkap kebenaran ketika intelek diliputi ketidakpastian. Cinta bisa membuka nilai asli dari sesuatu ketika pikiran manusia seakan menjadi buta.

Maria Magdalena merupakan satu dari mereka yang termasuk dalam kelompok pionir yang menerima warta kebangkitan Yesus. Mereka adalah kaum kecil yang masih tertinggal di bawah kaki salib Yesus, ketika semua teman Yesus (para murid) terbirit-birit lari meninggalkan-Nya. Ketika tubuh Yesus dimasukkan ke dalam kubur, mereka juga ada di sana. Merekalah yang pertama kali datang ke kubur Yesus di pagi buta. Cinta mereka akan Yesus kini mendapat imbalannya, yakni menjadi kelompok pertama yang mengetahui warta gembira kebangkitan Yesus.

Di abad ini ketika Yesus telah berada dalam keagungan Bapa-Nya di surga, di manakah kita bisa bertemu dengan Yesus yang bangkit? Di awal Injil Yohanes, sejumlah orang Yunani, kelompok yang dikenal sebagai kaum pencari kebenaran, datang mendekati para murid dan meminta untuk bertemu dengan Yesus. Namun sayangnya, Yesus tidak menampakkan diri kepada mereka. Kaum Yunani tersebut hanya bisa bertemu dengan Yesus lewat kedua belas murid-Nya. Jadi, terhadap pertanyaan yang baru saja diajukan di atas, kini diberikan jawabannya: "Orang lain bisa melihat Yesus yang bangkit lewat mereka yang percaya akan Dia", yakni lewat mereka yang menyebut diri Kristen, yang menyebut diri murid-murid Yesus di abad ini. Teman-teman kita atau siapa saja yang bertemu dengan kita setiap hari, seharusnya mampu melihat diri Yesus yang bangkit lewat pelayanan dan cinta kita.

Kita tahu bahwa kehidupan Maria Magdalena telah berubah secara radikal sejak ia bertemu dengan Yesus. Yesus mampu melihat kehadiran yang ilahi dalam diri Maria Magdalena dan secara perlahan membantunya untuk mampu melihat kehadiran ilahi itu dalam dirinya dengan matanya sendiri. Sebagai pengikut Yesus, kita seharusnya mampu membawa perubahan hidup sebagaimana dialami Maria Magdalena di atas.

Ketika seseorang tak mampu melihat hari esok, ketika ia dilanda putus asa yang berat, ketika kakinya tak mampu lagi melangkah untuk meneruskan perjalanannya, ketika mata seseorang seakan buta dan tak mampu melihat apa yang benar, ketika seseorang tidak mendapat penghargaan yang layak sebagai manusia, di saat seperti itulah kita hendaknya datang memberikan kekuatan, harapan, dan semangat baru, untuk terus bergerak maju. Inilah warta kebangkitan yang seyogyanya kita kumandangkan.

Kasih seorang Sahabat

Saudara/i-ku, Paskah adalah suatu perayaan untuk mengenang kebangkitan Kristus. Suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan orang kristen. Apa yang dirayakan oleh Gereja? Gereja di seluruh dunia merayakan kemenangan Kristus atas penderitaan bahkan atas maut, dengan doa dan pujian kemenangan.

Sebuah pertanyaan bagi kita: Mengapa Yesus harus menderita? Ada 3 kemungkinan jawaban, yakni: 1) Yesus begitu mencintai manusia, 2) Yesus taat/patuh pada BapaNya, 3) Yesus dikhianati.

Yesus begitu mencintai manusia
Kita mencermati, Yesus Sang Guru berkali-kali bertutur, ”Tak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawa bagi para sahabatNya” (Yoh 15:13).
Bagi Yesus, tidak ada kata setengah-setengah dalam mengasihi; tak ada pengandaian musiman dalam mengasihi. Yang diajarkanNya: kasih, kasih, kasih. Yang diserukan: ampuni, ampuni, ampuni.

Kalau orang yang sama datang sekian kali dalam sehari kepadamu untuk minta maaf, kamu harus mengatakan: aku mengampunimu. Kasih yang begitu besar pasti menghasilkan daya hidup baru.

Yesus taat kepada Bapa-Nya
Yesus berkali-kali berujar, ”Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku.”
Bagi Yesus, bila sekejab saja tidak patuh, itu sama saja dengan melalaikan kebutuhan dasar dalam hidup. Bila lalai makan, hidup juga dilalaikan.
Maka bagi-Nya jelas bahwa hidup benar-benar menjadi sebuah hidup yang penuh daya hidup, makan harus diisi kepatuhan/ketaatan total kepada Sang Pemberi Hidup sendiri. Tanpa itu, manusia hanya seonggok daging pembungkus tulang yang digerakkan entah oleh apa.

Yesus dikhianati
Yesus berseru, ”Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga." Lukas 24:7
Cinta dibalas dengan benci. Harapan baru dibalas dengan kekecewaan penuh luka. Impian masa depan dibalas dengan keserakahan kini dan sekarang.
Bagi Yesus jelas. Yang ingin setia pasti akan dikhianati. Yang memilih kebenaran pasti akan dihabisi. Kalau tidak secara fisik, yang pasti secara psikis dan emosional. Khianat mengira punya daya henti atas kebenaran. Khianat tertipu. Tidak ada kekuatan yang bisa menghentikan kebenaran. Tidak ada keuntungan apa pun yang bisa dinikmati selamanya demi pemusnahan kebenaran.

Saudara/i-ku, itulah tiga kemungkinan jawaban atas derita yang harus ditanggung oleh Yesus. Itulah juga yang mesti dialami oleh para pengikutnya.
Akan tetapi, yang terjadi sering orang tidak mau menderita. Derita adalah kata yang harus dihindari. Bila mungkin, kata itu dihapus dari kamus kehidupan manusia. Maka yang terjadi justru sebaliknya
Banyak orang begitu mencintai dirinya sendiri (cinta diri)
Banyak orang tidak mematuhi Allah (kehendak diri)
Banyak orang tidak ingin dikhianati (khianat)

Cinta diri
Yesus mengajarkan, “Cintailah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Benar, diri sendiri tetap harus dicintai. Tetapi bukan berarti hanya kalau orang sungguh mencintai diri sendiri ia akan bisa mencintai yang lain.
Yang hendak diajarkan adalah jadikan dirimu patokan untuk menjadi sasaran cinta dan patokan yang sama digunakan untuk orang lain. Hukum Emas (Golden Rule), “Lakukan pada orang lain, apa yang ingin agar dilakukan orang padamu.” Yang serupa berbunyi demikian,”Yang kamu inginkan agar tidak dilakukan orang terhadapmu, jangan kamu lakukan pada orang lain.”
Yang banyak dilakukan di negri ini sebuah hukum lain: “Aku mau begini, kamu harus juga mau begini, semua untuk aku.”

Kehendak diri
Apa yang kamu inginkan, kejarlah itu. Bagi Sang Guru, ini tidak masuk akal. Ini bukan cara bertindak seorang manusia yang sungguh manusia. Bagi Sang Guru, hidup hanya sungguh berbuah banyak seumpama ranting yang melekat pada pokok pohon. Kehendak manusia yang bersatu dengan kehendak Allah itulah yang bila diikuti akan menghasilkan hidup. Kalau tidak, pasti akan ada kematian.

Khianat
Yang penting aman. Itu nasihat bijak, tetapi tidak cukup. Bila aman berarti tidak berani bertindak apa-apa. Itu kemandulan! Pasti tidak akan pernah ada daya hidup baru. Prinsip “yang penting aman” berarti untuk melangkah akan terjegal. Namun, lebih menakutkan lagi, ketika ingin berbuat benar, ada suara dalam diri, “Jangan sok suci!” Itulah suara pengkhianat terbesar yang paling ditakuti. Menjadi suci berarti melawan diri? Ini menyakitkan. Inilah keberhasilan khianat batin yang justru sering dikunyah mentah-mentah.

Kasih yang Sempurna
Batu yang dibuang oleh tukang bangunan telah menjadi batu penjuru. Yesus, Sang Guru, yang ditolak karena cinta, karena patuh, karena khianat, yang dianggap tidak berguna, menjadi dasar bangunan baru.

Paskah adalah hari saat manusia melihat Dia dan diri sendiri sebagai batu yang dibuang. Paskah adalah hari ketika diri tersadar kembali bahwa Dia, dan aku yang percaya, akan menjadi batu penjuru. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan hidupnya bagi sahabat-sahabatnya. Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan. Paskah adalah perayaan kasih seorang sahabat.

Ia telah bangkit(?)

Sabtu Suci
Kej 1:1.26-31a; Kel 14:15 – 15:1; Rm 6:3-11; Mrk 16:1-8

Kamu mencari orang Nasaret yang sudah disalibkan itu. Ia telah bangkit. Sahabat-sahabat Yesus masih hidup di dunia lama. Mereka meratapi kematian Yesus dan mencari jenazah-Nya di kuburan. Sementara Yesus sudah masuk ke dalam hidup baru. Itu sulit dibayangkan. Mana mungkin orang mati hidup lagi, kecuali kalau dia tidak mati betul. Tapi Yesus sudah mati semati-matinya. Kalau belum mati betul, tusukan lembing seorang serdadu membawa kematian telak. Memang lebih gampang mencari orang mati ketimbang orang hidup. Apalagi Yesus dalam hidup baru yang tidak terikat waktu dan tempat. Itulah tugas kita sekarang: mencari dan menemukan Yesus yang hidup serta mewartakan Dia, Sang Kebangkitan. Ia sudah bangkit dan menghapus segala air mata kita.

Dia Disalibkan


Jumat Agung
Yesaya 52:13-53:12; Ibrani 4:14-16; 5:7-9; Yohanes 18:1-19:42

Saudara/i-ku, mendengarkan kisah Sengsara Tuhan Yesus, kita dihadirkan seorang manusia di atas salib yang berteriak serak memecah keheningan. Tak ubahnya seorang anak yang sedih mencari-cari Ayahnya, sumber ketenangan dan perlindungannya. Yesus terkulai di atas palang kayu.

Adalah pemandangan yang sangat keji ketika kita melihat Yesus yang tergantung di Salib. Yang tidak bersalah, namun menerima hukuman mati. Di balik penderitaan-Nya Ia tidak melawan dengan umpatan atau cacian, bahkan Ia tidak memperhitungkan jasa-jasa-Nya terhadap rakyat Israel yang disembuhkan-Nya, diberikan-Nya makan, dibantu-Nya.

Masih adakah yang sadar di bukit itu? Dia yang tersalib itu Tuhan! Adakah yang peduli pada-Nya? Dia mengorbankan diri untuk kita. Untuk dosa-dosa yang telah membawa maut bagi dunia. Namun, lihatlah... Siksa keji tidak membuat-Nya jera, Dia tetap diam, seakan-akan memang orang yang bersalah yang pasrah dengan nasibnya.

Masihkah kita mau menghitung dosa-dosa kita yang membuat-Nya sengsara? Dia ditampar untuk setiap dosa kita yang menyinggung orang lain dan lupa berbuat baik.

Dia dipukuli karena kita suka membalas dendam dan memusuhi sesama manusia.
Dia diludahi untuk setiap cacian yang keluar dari mulut kita, menabur gosip, menjelekkan dan bersaksi dusta tentang orang lain.Dia ditelanjangi, padahal kitalah yang berdosa, untuk setiap percabulan kita.
Duri-duri mahkota ranting yang menancap di kepala-Nya adalah dosa pikiran, keangkuhan dan kesombongan kita.
Paku-paku di palukan ke kedua tangan-Nya adalah karena dosa perbuatan kita.
Paku yang menancap di kaki-Nya adalah karena kita suka menginjak-injak orang lain, kita suka berpesta pora di atas penderitaan orang lain dan kita suka mencelakai orang lain.
Lambung-Nya di tikam untuk setiap dosa yang mementingkan diri kita, mencintai harta dan kekayaan, lupa dengan orang orang lapar dan nafsu serakah.

Akhirnya Dia mati karena dosa kita yang tak terbilang banyaknya. Dia mati karena kita. Tidakkah kita berutang untuk setiap sakit hati, luka-luka di tubuh-Nya, tetesan darah dan nafas yang dikurbankan-Nya untuk kita?

Ada tiga teladan Yesus: Kasih, Pelayanan dan Pengampunan


Kamis Putih

Keluaran 12:1-8.11-14; 1Korintus 11:23-26; Yohanes 13:1-15

Saudara/i-ku,
Kamis Putih? Kamis sebelum Paskah, pada Hari Raya ini umat Kristen Katolik memperingati Perjamuan Malam terakhir yang dipimpin oleh Yesus.

Malam itu, malam yang sungguh membahagiakan, sekaligus malam yang mengharukan bagi para murid. Jantung-jantung para murid berdegup kencang, tidak kuasa menahan hentakan cinta kasih yang diperbuat Tuhan.
Malam itu menjadi malam kenangan bagi semua Gereja Allah yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Gereja bersama-sama merayakan pengenangan luhur Perjamuan Terakhir dengan satu ujud: pengenangan akan kasih Kristus yang tiada batasnya. Kerelaan-Nya akan siap dilakukannya untuk menggantikan kita di kayu salib.

Malam itu juga dikenal sebagai acara perpisahan Yesus dengan para muridNya. Namun perpisahan-Nya kali ini, dibayangi dengan maut yang siap menunggu-Nya di Kalvari. Tubuh-Nya siap dikorbankan dan darah-Nya siap dicurahkan untuk menebus umat manusia.

Mengapa ini harus terjadi? Itulah kehendak Allah, dan semata-mata karena kasih.
Santo Paulus menegaskan bahwa, walau dengan ke-Ilahian-Nya, Yesus tdk mau menyombongkan diri dan memamerkan kekuasaan-Nya, malahan ia menggunakan kemanusiaan dan kehambaan dalam diri manusia Yesus yang taat kepada rencana Bapa, sampai wafat disalib.

Akankah kitapun menahan setiap kesombongan dalam diri kita? Lihatlah!... Sang Guru itu membasuh kaki para muridnya. Suatu perkara yang mengharukan, Ia merendahkan diri di hadapan murid-Nya sendiri. Itulah perbuatan kasih yang Ia ajarkan. Bahwa menjadi pemimpin, berarti rela untuk menjadi pelayan. Bagaimana dengan pemerintah kita? atau... bagaimana dengan anda sendiri?...

Kasih Yesus mengatasi semua itu. Yesus mengasihi dengan seluruh hidupnya, sampai wafat bahkan wafat di salib. Pilihan kata yang kiranya lebih tepat bahwa Kasih Yesus itu tanpa batas dan dengan cara yang luar biasa. “Inilah Tubuh-Ku yang dikorbankan bagimu”. Dan dengan piala, “Inilah darah-Ku, darah Perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.

Misteri Kasih Tuhan yang sungguh agung dan tanpa batas. Ia yang telah rela menderita, wafat dan dimakamkan, kini dalam Ekaristi dikenangkannya. Roti yang dipecah-pecahkan dan cawan perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah Kristus diedarkan. melalui kerelaanNya untuk dipecah-pecahkan.
Ada tiga teladan Yesus: Kasih, Pelayanan dan Pengampunan

Apakah Aku Seorang Yudas?


Yes 49:1-6; Yoh 13:21-33

Dua tokoh di sekitar kisah Yesus adalah Yudas dan Petrus. Keduanya dikenal sebagai murid yang berkhianat kepada gurunya. Yang membedakan keduanya bahwa Petrus akhirnya menyesali perbuatannya dan kembali kepadanya. Tiga kali Petrus menjawab dengan yakin bahwa ia mengasihi gurunya (Yoh 21).

Sementara Yudas mengakhiri hidupnya secara tragis. Setelah menjual Yesus, ia melarikan diri dan tak akan kembali kepada gurunya.

Perjamuan terakhir itu perjamuan perpisahan. Kegembiraan diselimuti kabut kesedihan. Ini Yesus akan meninggalkan mereka. Sengsara dan maut menantikan Dia. Inilah saatnya Ia akan diserahkan kepada kuasa kegelapan. Seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.

Terang-Nya sekejap dipadamkan, tapi kegelapan tak dapat menguasainya. Terang itu akan kembali bersinar, lebih cemerlang dari sebelumnya. Sementara itu kegelapan sudah menyusup ke dalam hati Yudas, dan ia siap menjadi alatnya.

Padahal dialah orang dalam, orang kepercayaan, dari kalangan mereka sendiri. Tidak perlu bangga kalau menjadi orang kepercayaan. Masing-masing dari kita punya potensi menjadi seorang Yudas. Perlu waspada, dan terlebih rendah hati untuk melihat kelemahan sendiri dan mengandalkan Tuhan.
Yes 42:1-7
Yoh 12:1-11

Kisah pengurapan oleh Maria (saudari yang lain), dapat dikatakan sebagai kisah bayangan dari kematian dan penguburanNya, seperti cerita Lazarus menggambarkan kematianNya.

Lebih dari itu, kisah ini tampaknya untuk mengantisipasi tindakan pembasuhan kaki para murid oleh Yesus (13:1-20). Sebab dalam kisah ini kaki Yesus dibasuh dan diurapi.

Peristiwa dan tindakan simbolik yang dibuat oleh Maria (saudari yang lain) mengundang 2 tanggapan:

Negatif (Yudas) --- bukankah itu tindakan yang boros, lebih berguna bila untuk beramal

positif (Yesus) --- biarkanlah itu dibuat

Yohanes lebih memusatkan perhatian pada tindakan kasih dan perasaan lembut, sekaligus juga sisi paling buruk dalam kehidupan manusia, yaitu bersekongkol untuk mengakhiri hidup seseorang.

Peristiwa itu mengajak kita untuk sadar bahwa Tuhan lebih bernilai dari segala sesuatu. So...untukNya kita pantas merelakan segala-galanya yang ada pada diri kita.

Sebuah saat khusus

Minggu, 15 Maret 2009

Yehezkiel 36:24-28
Yohanes 2:13-25

Saudara/iku yang dikasihi oleh Tuhan,
Bacaan Injil berkisah tentang pembersihan Kenisah atau Bait Suci. Mengapa Bait Suci itu dibersihkan? Bukankah telah menjadi suci? Bait yang suci=rumah yang suci.
Kenisah merupakan lambang ibadah yang harus bersih dari hal-hal yang berurusan di luar Kenisah, seperti sifat jual beli (untung rugi, dst).
Selain pembersihan juga tersirat agar kenisah itu sebaiknya dibangun kembali. Pembangunan kembali itu bukan semata-mata menunjuk kepada bengunan kenisahnya, melainkan sisi manusianya, sehingga menjadi kenisah baru.
Masa Prapaskah ini dapat menjadi masa pembangunan kenisah yang baru, kenisah yang hidup, yakni diri kita masing-masing sebagai bagian dari anggota Tubuh Kristus.

Kisah pembersihan kenisah itu hendak menyadarkan kita bahwa di satu sisi kehidupan beribadat itu harus terus-menerus dibersihkan dan disucikan. Dan kekuatan pembersihan itu adalah Roh Kudus. Nabi Yehezkiel melukiskan sebuah pembersihan diri itu dengan: “Aku akan mencurahkan kepadamu air jernih, yang akan mentahirkan kamu…(Yeh 36:25 dst). Dan kekuatan itu Roh Allah sendiri.

Dan di sisi lain bahwa pembangunan lebih pada pembangunan diri kita masing-masing, sehingga layak menjadi kenisah yang baru tempat Tuhan berkenan.
Peristiwa pembabtisan dan pemberkatan rumah yang akan kita saksikan nanti, menjadi saat pengingat bagi kita masing-masing akan kenisah baru itu.

Anak yang lahir suci harus disucikan dengan babtis. Penuangan air pada dahi melambangkan penyucian, sehingga disatukan atau dimetraikan dalam Yesus Kristus, sehingga diangkat menjadi anak-anak pilihanNya (Yehezkiel 36:25-26a, Roma 6:3a)

Demikianpun pemberkatan rumah. Sebuah saat khusus keluarga memperoleh rahmat dari Allah. Sehingga keluarga menjadi kenisah atau tempat suci yang harus selalu dijaga.

Tuhan Menantikan Buah

Jumat, 13 Maret 2009

Kejadian 37:3-4, 12-13, 17-18
Matius 21:33-43, 45-46

Tuhan Menantikan Buah. Itulah simpul permenungan kita akan sabda Tuhan hari ini. Tuhan memiliki harapan besar. Tuhan Allah Bapa itulah pemilik kebun anggur itu. Penolakan dalam bentuk sikap iri hati hingga PutraNya sendiri dipukul dan bahkan dibunuh, membuat Tuhan mengubah sikapNya. Tuhan akan berurusan dengan penggarap-penggarap lama.
“Ia akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurNya akan disewakan kepada penggarap-penggarap lain” (Mat 21:41).

Dan kitalah yang akan menjadi penggarap-penggarap baru. Apa yang bisa dibuat? Kita menghindari sikap iri hati dengan mengembangkan sikap murah hati, sehingga dapat menghasilkan buah-buah Kerajaan Allah yang dinantikan oleh Tuhan: kedamaian, kasih, kesatuan, pengharapan dll.

Minggu Palma

Minggu Palma, 05 April 2009

Markus 11:1-10

Sebuah kisah tentu mengisyaratkan para tokoh yang bermain di dalamnya. Selain ada tokoh yang berperan, tentu juga ada penonton atau yang menyaksikan. Saat ini kita menghadirkan kembali sebuah kisah, yaitu kisah Yesus yang memasuki Yerusalem. Kita bukan menjadi penonton atau orang yang menyaksikan kisah, melainkan berperan di dalamnya dengan memegang palem ditangan sebagai perlengkapan untuk menyambut Yesus.

Kisah Yesus memasuki Yesrusalem bermaksud menyampaikan dua pesan yang jelas kepada rakyat Yerusalem. 1) Ia adalah raja, 2) Ia bermaksud membawa damai sejahtera.

Pada waktu itu, jika raja memasuki kota dengan menunggang kuda, biasanya berarti kerajaan dalam bahaya. Rakyat menjadi kalut dan ketakutan.
Jika raja hanya bertujuan untuk mengadakan kunjungan damai, ia akan memasuki kota dengan menunggang keledai.
Yesus memilih cara dengan menunggang keledai, tunggangan orang biasa. Dengan demikian Ia datang sebagai raja dengan lemah lembut dan rendah hati. Ia tidak merebut, tidak memaksa, tidak memakai kekerasan.

Saudara/i-ku, Sabda Tuhan (Mrk) hendak mengetengahkan kepada kita bagaimana cara pandang ilahi kita untuk melihat WAJAH Allah yang baru. Allah yang selama ini kita kenal sebagai yang Mahakuasa, kini ditampilkan sebagai Allah yang yang merendahkan diri dan menjadi sama dengan manusia, mengalami nasib yang paling hina. Dialah Allah yang BERBELA RASA.

Lalu...apakah kita siap menerima raja seperti itu? Atau justru kita mempunyai raja sendiri-sendiri? Atau bahkan kita menempatkan diri sebagai raja?

Yes 50:4-7
Flp 2:6-11
Markus 14:1-15:47

Saudara/i-ku, Kisah tragis Yesus, manusia tak berdosa yang telah kita dengar bukanlah laporan atau deskripsi yang mengundang kita untuk terharu. Melainkan sebuah narasi kesaksian orang-orang yang mengerti serta percaya bahwa sengsara dan kematian Yesus terjadi dalam rangka pengabdianNya untuk membangun kembali hubungan baik antara manusia dan Allah. Kisah sengsara Yesus memperlihatkan betapa merosotnya kemanusiaan yang menolak kehadiran Yang Ilahi.

Dalam menghadapi kesusahan, rasa malu dan penderitaan, seseorang biasanya bereaksi di “keempat penjuru mata angin” dirinya. Utara, orang itu menyerang orang lain dengan kebencian dan balas dendam. Selatan, orang itu menyerang diri sendiri dengan mengambil tindakan2 yang menyakiti dirinya sendiri. Barat, orang itu dapat menunjukkan kpd orang lain dg keras segala egonya dan menolak segala kesusahan dan rasa malu. Timur, orang itu menarik diri dari komunitasnya dan merasa diri tidak berharga.

Bac I, Yesaya 50:4-9, kita menjumpai bahwa hamba Allah tidak memilih reaksi-reaksi destruktif seperti itu. Saat menemui kesusahan, rasa malu dan penderitaan, Ia tidak menyerang balik atau balas dendam, atau menyakiti diri sendiri. Ia tidak menjauh dari komunitasnya, melainkan tetap tinggal di dalamnya.
Demikianlah kita mendapati gambaran sosok hamba Allah itu juga dalam diri Yesus Kristus. Ketaatan-Nya adalah ketaatan yang bersedia untuk berkorban (Mrk 14:1-15:47). Kristus yang telah menjadi teladan Paulus, kini menjadi teladan kita dalam hal ketaatan kepada Allah.

Pertanyaan bagi kita: seperti apa ketaatan kita kepada Allah akhir-akhir ini? Khususnya jika kita menemui kesusahan, rasa malu dan penderitaan dalam menjadi hamba-Nya, bagaimana tanggapan kita?