"Fiat" Ketaatan Maria

Injil Minggu Adven IV, 20 Des 2009 (Luk 1:39-45)


Adalah tak masuk akal! Umur tua tidak membuat hidup seseorang menjadi tenang. Ketika orang menjadi tua, semestinya, dirinya semakin berpasrah kepada Tuhan, sumeleh. Jika tidak, ada apa ya?

Umur tua tidak membuat Elisabet makin hidup tenang. Sebab ia tergolong orang yang "kena aib", karena tidak dapat memberi keturunan kepada Zakharia. Sama dengan Hana, yang bakal melahirkan Samuel. Juga Sarai, istri Abraham. Tapi kini Elisabet mengandung pada hari tua, begitu pula tokoh-tokoh lain itu. Tak wajar!

Lebih tidak tenang lagi yang dialami Maria. Bukan karena ketuaan, melainkan karena kediniannya. Maria mengandung dalam keadaan tanpa suami yang resmi. Inilah situasi sulit dan dapat membahayakan keselamatan hidupnya. Maria setiap saat dapat menerima hukuman rajam. Hukum Taurat (Ul. 22:23-24) berkata: “Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan--jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu”.

“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk. 1:38). Inilah FIAT Maria. Pada saat ia menyatakan “fiat”-nya, ia menerima suatu paradoks antara kasih-karunia dan bahaya maut. Maria menerima kasih-karunia atau rahmat Allah yang begitu khusus dengan memilih dia untuk menjadi bunda Allah, sehingga Maria diperkenankan untuk melahirkan Anak Allah yang maha-tinggi. Tetapi juga pada saat yang sama dengan “fiat”-nya Maria juga siap menerima konsekuensi yang terburuk yaitu hukuman rajam sesuai ketentuan hukum Taurat.

Ternyata Maria mengutamakan sikap ketaatan yang tanpa syarat kepada kehendak dan rencana Allah. Melalui ketaatannya, Maria menyatakan bagaimana mata imannya dimampukan oleh Allah untuk melihat bahwa karya keselamatan Allah lebih agung dan berarti dari pada rasa aman dan kepentingan dirinya.

Fiat Maria ini mengungkapkan isi iman yg otentik dan paling dlm thp rahasia keselamatan Allah. Sebab saat Maria mengambil keputusan dengan berkata: “Jadilah padaku menurut perkataanMu” berarti saat itu pula Maria mengalami proses pembuahan dalam rahimnya. Pada saat Maria menyatakan “fiat”atau KETAATAN-nya, berarti saat itu pula Maria menyetujui peristiwa inkarnasi Firman Allah terjadi dalam rahimnya.

Setelah Maria mengucapkan fiat untuk menerima kehendak dan rencana Allah, beberapa waktu kemudian dia pergi mengunjungi keluarga Zakharia dan Elisabet di wilayah Yehuda, sangat jauh. Yang menarik adalah bagaimana sikap yang dialami oleh Elisabet saat Maria datang berkunjung dan mengucapkan salam kedatangannya. Ternyata anak yang berada dalam kandungan Elisabet disebutkan “melonjak” kegirangan dan Elisabet kemudian dipenuhi oleh Roh Kudus sehingga dia mengucapkan pujian kepada Maria, yaitu: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk. 1:42-43).

Atas dasar respon Elisabet tersebut, kemudian berkembanglah suatu doa di kalangan gereja Roma Katolik dan Orthodoks Timur yang disebut dengan doa “Salam Maria” atau “Ave Maria” yang berbunyi: “Ave Maria, gratia plena. Dominus tecum, benedicta tu in mulieribus, et benedictus fructus ventris tui, Jesus. Sancta Maria, Mater Dei, ora pro nobis peccatoribus, nunc, et in hora mortis nostrae.

Ucapan Elisabet yang menjadi dasar dari isi doa “Salam Maria” pada prinsipnya menyatakan: pertama bahwa Maria adalah satu-satunya wanita yang paling diberkati. Yang kedua adalah bahwa berkat tersebut terjadi karena janin Yesus yang sedang dikandungnya. Yang ketiga adalah: gelar Maria sebagai ibu Tuhan (mater dei = theotokos). Ketiga aspek pernyataan tersebut merupakan ungkapan Elisabet yang dipenuhi oleh Roh Kudus.

Dengan demikian kehidupan Maria yang dilandasi oleh “fiat” ketaatannya telah menjadi ruang dan media yang istimewa dalam karya keselamatan Allah. Sehingga janin Yohanes Pembaptis telah mengenali jati-diri ke-Messias-an Yesus selaku Anak Allah. Melalui kehadiran Maria, membuka peluang bagi Elisabet untuk dipenuhi oleh Roh Kudus. Jelasnya ketaatan iman Maria menghasilkan sukacita Roh di kalangan keluarga besarnya. Alangkah indahnya, jikalau setiap umat percaya mampu bersikap Maria sehingga setiap sapaan dan kehadiran gereja senantiasa mendatangkan sukacita ilahi di tengah-tengah berbagai pergumulan dan penderitaan sesama.
Demikianpun dengan ketaatan Yesus dalam Ibr 10, menghasilkan jawaban BapaNya, yaitu kebangkitan.

Bagaimana dengan makna “ketaatan” pada masa kini? Apakah ketaatan masa kini mampu mencerminkan ketaatan iman yang menghasilkan sukacita Roh dalam relasi yang lebih luas dan dalam? Kita dapat melihat bagaimana keluarga, sekolah dan masyarakat bahkan lembaga keagamaan justru sering mengajar suatu ketaatan yang sifatnya legalistis. Dengan ketaatan yang legalistis, seseorang tidak diajar bagaimana dia harus berperan menjadi pembebas dan pelaku kebenaran. Malahan seseorang diajar untuk berpikir dan menganalisa persoalan secara dangkal seperti seekor kuda dengan penutup matanya.

Pola ketaatan yang legalistis justru mengurung berbagai potensi, kompetensi dan anugerah Allah sedemikian rupa sehingga mereka kehilangan kemampuan untuk melihat kekayaan dan dimensi kehidupan. Itu sebabnya ketaatan yang legalistis hanya menghasilkan kekakuan sikap dan tindakan-tindakan yang dapat mematikan semangat dan aspek-aspek anugerah kehidupan. Ketaatan yang legalistis umumnya menghasilkan dukacita bagi banyak orang dan kehilangan kemampuan untuk menegakkan kebenaran dalam konteks relasi dan komunikasi kasih dengan Allah dan sesama.

Kita ingat kumpulan ibu-ibu sepenanggungan yang ada di pa­roki. Dengan saling berbagi pengalaman dan penderitaan, masalah yang besar menjadi tidak lagi mengusik. Malah menurut Lukas di situ bisa tumbuh kegembiraan. Dalam kisah ini, kegembiraan itu bermuara dari dalam kandungan. Dan apa yang dilihat sebagai yang paling membuat Maria beruntung: "buah rahim"-nya.